Langsung ke konten utama

Aku dan Topengku



Belakangan ini aku menyadari sesuatu. Hidup di dunia nyata ternyata penuh intrik, lebih drama dari sinetron layar kaca dan FTV yang judulnya tak masuk akal itu. Nyatanya hidup yang sederhana seringkali diperumit tanpa kita sadari. Adalah ego yang lebih banyak mendominasi apa yang kita lakukan, ego yang membuat kita jauh dari diri kita sendiri. 

Aku yang setahun lalu adalah aku yang akan menyalahkan keadaan di setiap hal buruk yang aku alami. Dengan ego super besar aku menganggap seseorang bisa menjadi milik ku dan saat aku kehilangan itu aku membuat dunia ku seolah-olah berakhir. Aku menempatkan diriku sebagai korban,sebagai yang tersakiti. Benarkan demikian? Tergantung sudut pandang kalian sekarang sebenarnya. Aku yang dulu selalu mencari pembenaran atas apa yang telah aku lakukan, aku yang dulu terlalu meletakan kebahagian ku pada orang lain, sehingga saat orang-orang itu pergi, pergi pulalah bahagia itu. 

Pelan-pelan aq mulai belajar move on, belajar menerima. Tak ada yang bisa dirubah, tak ada guna ingin kembali ke masa lalu untuk merubah semuanya, karma tetap berjalan dan hanya satu hal yang bisa dilakukan, menerima. Ya! Menerima diri sendiri terlebih dahulu, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya, memaafkan diri sendiri atas kesalahan di masa lalu. Tidak mudah memang, sangat berat malah. Ada masa-masa aku merengek cengeng pada beberapa teman, minta dukungan dan penghiburan. Ada saat-saat dimana aku tak terima di caci di media sosial, ada masa-masa aku tak percaya diri. Dan aku sudah melewati itu semua, learn by the hard way kata ku.

Tuhan memang baik, dengan restunya, dengan bantuan semesta aku bertemu orang-orang baik. Mereka mengenalkan ku pada arti bersukur, mengajarkan ku berusaha, dan kemudian menerima hasil tanpa komplain. Mengajarkan ku bahwa jalan yang sudah aku pilih adalah tanggung jawabku, apapun resikonya aku tak boleh menyalahkan orang lain. Segala konsekuensi dari pilihan ku harus aku terima tanpa keluh, seperti hukum karma yg sangat aku percaya, segalah yang aku perbuat adalah karma yang akan aku tebus nanti, entah itu karma baik maupun karma buruk. Semesta memberi jalan, aku lebih bersukur bahkan atas masalah-masalah yang ada walau kadang masih tersisip beberapa keluh kesah sebagai pelepas penat. 

Sekarang aku mencoba menemukan diri ku sendiri, belakangan ini aku merasa aku yang sekarang bukan 100% aku. Dalam beberapa kesempatan aku terpaksa harus memakai "topeng". Aku yang merasa tak butuh pengakuan dari siapapun tapi nyatanya dalam sistem masyarakat dan lingkungan kerja pengakuan sangatlah penting, dan saat-saat seperti itulah "topeng" dikenakan. Saat dilahirkan kita di program oleh lingkungan dan sistem di sekitar kita tentang apa itu baik dan buruk, salah dan benar menurut versi sistem itu. Aku mencoba keluar dari sistem itu, tp rasanya sudah sekali, jadilah topeng itu sebagai perisai, sebagai benteng pelindung. Jangan tanya bagaimana rasanya, sangat melelahkan menjadi sesuatu seperti yang diinginkan orang lain. Rasa lelah itu pertamanya aku kira karena tuntutan kerja, tp belakangan aku sadari kalau itu karena topeng yang aku kenakan. Karena tuntutan sistem aku tidak bisa bebas menjadi aku. Aku harus menekan sosok "aku" sedemikian rupa, dan itu yang membuat ku lelah.

Topeng ini sampai kapan harus aku kenakan?

-Basmatika-
121216


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel

Aku dan Sepenggal Cerita

Hati yang merindu nan rapuh Meski layar ku kembang penuh Dan jarak sudah bertahun aku tempuh Namun sauh tak kunjung berlabuh Walau angin kehilangan ritmenya Cinta, cita dan asa masih ku punya Hanya satu pinta sebelum ajal bertahta Labuhkan hatimu ke pangkuanku saja Padamu yg tiada berupa Padamu aku jatuh cinta Ku awali tulisan ini dengan sebuah puisi, puisi yang kata per katanya ku kutip dari mana-mana. Dan ini lah ceritaku:  Ini cerita tentang pengorbanan, tentang cinta, tentang keraguan dan kepastian, tentang kebimbangan dan keyakinan, tentang perasaan goyah akan sesuatu dan rasa ingin bertahan. Sebuah cerita tentang rasa kecewa dan keputusasaan, cerita tetang perubahan, cerita tentang ketakutan dan keberanian, juga tentang kerapuhan. Aku menyebut serita ini kehidupan , dengan berbagai rasa dan asa, dengan ribuan proses yang terjadi didalamnya. Ya ini adalah cerita tentang hidup, hidup ku tepatnya… Dulu aku menyebutnya pengorbanan, yang aku korbankan adalah diriku, p

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung