Langsung ke konten utama

Eksistensi, Resistensi dan Waktu




Pentingkah menjelaskan tentang siapa dan bagaimana dirimu sebenernya?
Haruskan ada pembuktian tentang apa yang sudah kita capai?
“Aku sudah punya ini”
“Aku sudah bisa begini”
“Aku sudah meraih itu”
Bla bla bla bla....
Haruskan kita tunjukkan? 
Eksistensi....

Hmmm....ya pada dasarnya manusia ingin diakui keberadaannya; dia ada, dia memiliki, dia sempurna. Bagaimana? Bisa dengan sebuah atau lebih objek, sebagai penanda dia masih ada, tak tersingkirkan, masih penuh kuasa. Egois! Ya, egois menurutku. Kenapa? Dia tidak memberi celah, tidak memberi ruang untuk yang lain tinggal, hanya ada dia, tidak ada tempat untuk yang lain. Bukankah itu egois?

Sempitnya ruang, terbatasnya gerak tak sadarkah dia kalau hal itu akan menimbulkan perlawanan? Keinginan, kepemilikan, membuat seseorang ingin melawan, ingin bertahan, untuk kemudian menang, menjadi ada untuk kemudian mencari pengakuan dan kembali mengulangi roda eksistensi lagi dan lagi. Resistensi untuk mendapatkan eksistensi. Terus seperti itu, berkali-kali, dari orang ke orang, dari masa ke masa. Apa esensi dari kedua kata itu? Eksistensi dan resistensi. Bergumul saling mendominasi. Tumpang tindik tak terselami maknanya. Bias antara pengertian satu dengan lainnya. 

Seseorang pernah berkata; “bila ingin memahami seseorang coba tempatkan dirimu sebagai orang tersebut”. Kemudian kamu akan temukan alasannya, penyebab dia ingin ada dan diakui. Tapi pikirku aku hanya manusia, kemampuan untuk memahami tidaklah besar. Semakin aku mencoba paham, semakin banyak tanya, semakin aku bingung, lelah kemudian kembali ingin menyerah. Aku tak harus paham, ya....aku hanya perlu menerima, biarlah dia dengan eksistensi nya, aku diam dan melihat, sampai dimana dia mempertahankan eksistensinya. Diam, menunggu momemtum, untuk kemudian tersenyum. Pada akhirnya eksistensi mu akan kalah dengan waktu. Ya....kali ini aku tak sependapat dengan Sapardi Djoko Damono, sastrawan panutan. Bagiku kini, kita adalah fana, waktu yang abadi.

Basmatika
-290720-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel

Aku dan Sepenggal Cerita

Hati yang merindu nan rapuh Meski layar ku kembang penuh Dan jarak sudah bertahun aku tempuh Namun sauh tak kunjung berlabuh Walau angin kehilangan ritmenya Cinta, cita dan asa masih ku punya Hanya satu pinta sebelum ajal bertahta Labuhkan hatimu ke pangkuanku saja Padamu yg tiada berupa Padamu aku jatuh cinta Ku awali tulisan ini dengan sebuah puisi, puisi yang kata per katanya ku kutip dari mana-mana. Dan ini lah ceritaku:  Ini cerita tentang pengorbanan, tentang cinta, tentang keraguan dan kepastian, tentang kebimbangan dan keyakinan, tentang perasaan goyah akan sesuatu dan rasa ingin bertahan. Sebuah cerita tentang rasa kecewa dan keputusasaan, cerita tetang perubahan, cerita tentang ketakutan dan keberanian, juga tentang kerapuhan. Aku menyebut serita ini kehidupan , dengan berbagai rasa dan asa, dengan ribuan proses yang terjadi didalamnya. Ya ini adalah cerita tentang hidup, hidup ku tepatnya… Dulu aku menyebutnya pengorbanan, yang aku korbankan adalah diriku, p

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung