Pentingkah menjelaskan tentang siapa dan bagaimana dirimu sebenernya?
Haruskan ada pembuktian tentang apa yang sudah kita capai?
“Aku sudah punya ini”
“Aku sudah bisa begini”
“Aku sudah meraih itu”
Bla bla bla bla....
Haruskan kita tunjukkan?
Eksistensi....
Hmmm....ya pada dasarnya manusia ingin diakui keberadaannya; dia ada, dia memiliki, dia sempurna. Bagaimana? Bisa dengan sebuah atau lebih objek, sebagai penanda dia masih ada, tak tersingkirkan, masih penuh kuasa. Egois! Ya, egois menurutku. Kenapa? Dia tidak memberi celah, tidak memberi ruang untuk yang lain tinggal, hanya ada dia, tidak ada tempat untuk yang lain. Bukankah itu egois?
Sempitnya ruang, terbatasnya gerak tak sadarkah dia kalau hal itu akan menimbulkan perlawanan? Keinginan, kepemilikan, membuat seseorang ingin melawan, ingin bertahan, untuk kemudian menang, menjadi ada untuk kemudian mencari pengakuan dan kembali mengulangi roda eksistensi lagi dan lagi. Resistensi untuk mendapatkan eksistensi. Terus seperti itu, berkali-kali, dari orang ke orang, dari masa ke masa. Apa esensi dari kedua kata itu? Eksistensi dan resistensi. Bergumul saling mendominasi. Tumpang tindik tak terselami maknanya. Bias antara pengertian satu dengan lainnya.
Seseorang pernah berkata; “bila ingin memahami seseorang coba tempatkan dirimu sebagai orang tersebut”. Kemudian kamu akan temukan alasannya, penyebab dia ingin ada dan diakui. Tapi pikirku aku hanya manusia, kemampuan untuk memahami tidaklah besar. Semakin aku mencoba paham, semakin banyak tanya, semakin aku bingung, lelah kemudian kembali ingin menyerah. Aku tak harus paham, ya....aku hanya perlu menerima, biarlah dia dengan eksistensi nya, aku diam dan melihat, sampai dimana dia mempertahankan eksistensinya. Diam, menunggu momemtum, untuk kemudian tersenyum. Pada akhirnya eksistensi mu akan kalah dengan waktu. Ya....kali ini aku tak sependapat dengan Sapardi Djoko Damono, sastrawan panutan. Bagiku kini, kita adalah fana, waktu yang abadi.
Basmatika
-290720-
Komentar
Posting Komentar