Langsung ke konten utama

Aku dan Sepenggal Cerita



Hati yang merindu nan rapuh
Meski layar ku kembang penuh
Dan jarak sudah bertahun aku tempuh
Namun sauh tak kunjung berlabuh
Walau angin kehilangan ritmenya
Cinta, cita dan asa masih ku punya
Hanya satu pinta sebelum ajal bertahta
Labuhkan hatimu ke pangkuanku saja
Padamu yg tiada berupa
Padamu aku jatuh cinta

Ku awali tulisan ini dengan sebuah puisi, puisi yang kata per katanya ku kutip dari mana-mana. Dan ini lah ceritaku: 

Ini cerita tentang pengorbanan, tentang cinta, tentang keraguan dan kepastian, tentang kebimbangan dan keyakinan, tentang perasaan goyah akan sesuatu dan rasa ingin bertahan. Sebuah cerita tentang rasa kecewa dan keputusasaan, cerita tetang perubahan, cerita tentang ketakutan dan keberanian, juga tentang kerapuhan. Aku menyebut serita ini kehidupan, dengan berbagai rasa dan asa, dengan ribuan proses yang terjadi didalamnya. Ya ini adalah cerita tentang hidup, hidup ku tepatnya…

Dulu aku menyebutnya pengorbanan, yang aku korbankan adalah diriku, perasaan ku lebih tepatnya. Dulu aku merasa akulah yang tersakiti, tapi pada nyatanya bukan mereka yang menyakiti, akulah yang menyakiti diri ku luar dalam. Aku yang pada saat itu masih sangat percaya pada apa yang aku rasa, aku singkirkan logika yang memang sangat jarang aku pakai, bodoh? Itulah aku dulu.

Kadang apa yang ku rasa dan ku lihat baik-baik saja secara kasat mata ternyata tidak selalu baik, ada banyak drama lain dibelakangnya, ada banyak hal yang tidak aku ketahui, dan aku tidak menyukainya. Seakan-akan, itu sudah sewajarnya, menceritakan betapa rapuhnya aku, betapa banyak sisi negative yang aku punya. Aku memang rapuh, tapi aku tidak suka memperlihatkannya, aku tidak ingin orang lain tahu.  Saat aku kira semua baik-baik saja, saat aku simpan rapat-rapat ketakutan dan kerapuhan ku, ternyata di sisi lain tersimpan pula kekecewaan dan keraguan, tersembunyi tak timbul ke permukaan. Dia menyembunyikannya dengan apik, sangat apik malah.

Dari ribuan malam yang kita lewati, bertahun kita bersama, tapi meski jutaan 5 menit telah usai, rasa itu tak pernah pergi. Bagiku kita abadi, waktulah yang fana. Dia bisa memakan apa saja, bahkan rasa yang tak pernah usai sekalipun, namun kita tetap abadi setidaknya untuk ku.

Aku menyebutnya cinta, tapi apa sebenernya cinta itu? Perasaan ingin memiliki? No! Menurut Ronald Frank, tak ada konsep kepemilikan dalam percintaan, karena hak milik hanya untuk property. Terima kasih RF, kamu membuat ku tambah waras. Dan sekarang aku menyebutnya rasa yang tak terdefinisikan. Silakan kalian mendefinisikannya sendiri, tak malasah.

Aku menyebutnya perubahan...
Dia mulai berubah, perhatiannya berkurang, pikirku dulu. Benarkah demikian? Senyatanya tidak ada penambahan dan pengurangan di semesta ini, yang ada hanya wujud yang berganti dan kemunculan yang tidak pernah pasti. Jangan tanya teori apa yang aku pakai, setidaknya aku yakin volume air di muka bumi ini tidak berkurang atau bertambah, mereka hanya berubah wujud.Jadi, apa perhatiannya berkurang? Tidak itu hanya sebuah bentuk perubahan, apa pemicunya? Expectasi yang berlebih. Apa akibatnya? Kekecewaan tentu saja, ditambah pudarnya kepercayaan berselimut keraguan. Lalu munculah sesuatu yang tidak pasti itu. sesuatu yang berwujud, dengan pesona mengalahkan aroma Elizabeth Arden, kamu terpikat.

Dan aku menyebutnya perpisahan...
Kalau boleh jujur, inilah ketakutan terbesarku dalam hidup. Merasa ditinggalkan, tidak dicintai dan dicampakkan dan harus sendirian. Aku seorang extrovert, aku sering merasa tidak nyaman bilang terlalu lama sendirian, sendirian dalam arti harafiah; tidak ada oarang di sekitarku. Aku merasa nyaman saat dikelilingi oleh orang-orang. Namun tak berarti aku tak bisa menikmati sendiriku, kadang kala aku membutuhan "me time", untuk bertanya pada diri sendiri tentang apa yang aku inginkan, apa yang aku butuhkan dan apa yang harus aku lakukan atau hanya sekedar menangis pilu di sudut kost-an menyesali rasa yang telah lalu. Sampai aku sadari, aku tak bisa mempertahannya mereka yang ingin pergi. Perpisahan itu kekal, bisa terjadi kapan saja pada siapa saja. Yang melukai adalah setiap rasa ketika salah satu dari kita tidak disana.


Sekarang apa lagi?
Aku belajar melepaskan, aku melajar move on. Orang-orang datang dan pergi dalam hidup ku, mengajarkan ku sesuatu. Aku mulai lebih bersukur dengan apa yang aku punya. Mereka yang datang untuk menetap atau hanya sekedar singgah dalam hidup, bertujuan membentuk aku yang lebih baik. Bukankan itu tujuan hidup manusia? Menjadi manusia yang lebih baik lagi, mengurangi karma masa lalu, setidaknya dalam kepercayaan ku.

Dan taraaaa....inilah aku yang sekarang, tidak banyak berubah. Masih banyak kekurangan, tapi aku belajar menerima diriku sebagai mana adanya seperti Tuhan menerimaku. Aku belajar mencintai diri ku sendiri, tanpa berusaha menarik perhatian untuk dicintai. 
Ya, inilah ceritaku....


Jan, 20.2014
-Basmatika Awiq-

Di repost dr note di Facebook dengan account Basmatika Awiq, dengan perubahan seperlunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susahnya menjadi Aku

Hah? Seriously? Hidup ku lhoo lebih berat dari kamu. Aku lho punya lebih banyak tanggungan dari kamu. Mungkin gitu kali ya pikiran kalian saat liat judul blog ku kali ini. Ga salah sih, hidup emang berat, bahkan bagi seorang Nia Ramadhani yang ga bisa ngupas salak.  Ah kamu aja yang ga bisa bersyukur, ada pula yang mungkin berpikiran seperti itu. Gapapa, itu pikiran kalian, itu pendapat kalian dan aku ga bisa larang kalian mau ngomong apa dan berpendapat kaya apa tentang aku, salah ku sih yang dikit-dikit baper, fiyuuuu.... Kenapa susah jadi “Aku”? Karena seorang “aku” ini sering kali kena komplain. Aku kasi tau yaa, masuk di lingkungan baru ga pernah mudah, bahkan bagi seorang "AKU" yang konon termasuk gampang beradaptasi. Tapi ini beda mamens, kebiasaan lama kita belum tentu bisa diterima, begitupula kebiasaan di tempat baru, belum tentu bisa kita terima dengan baik. Sebut saja si A, komplain karena aku ga pernah dilihat ngobrol sama anak nya yang lebetulan lama ting

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel