Aku cemburu! Seharusnya perasaan ini ga ada, benar-benar a stupid feeling, batinku kesal. Hampir sejam aku mematung di depan cermin, mengamati bayanganku. Tidak ada yang salah, aku ga jelek-jelek amat, tapi begitu aku ingat dia, aku merasa seperti bebek buruk rupa.
Namaku Ayodhya Basmatika, biasa
disapa Aya, nama yang unik bukan? Nama yang ku dapat karena rasa cinta mamaku
pada kisah Ramayana. Tapi namanya lebih indah lagi, sangat indah malah! Arrrrrghhh…..lagi-lagi
dia, umpatku dalam hati. Aku beranjak dari depan cermin menuju tempat tidurku
yang nyaman. Aku mencoba tidur, namun sebelumnya aku berdoa, “Ya Tuhan, semoga
malam ini aku ga mimpiin dia lagi, amin!” bisik ku.
Pagi itu kelasku sangat ramai,
hampir semua penghuninya berebut menyontek PR matematika. Ya ampuuuuun, mereka
nekat banget sih, uda tau dapat matematikanya jam pertama dan parahnya lagi,
sang guru yang bernama Pak Angkoro sadis bukan main. Aku ga melebih-lebihkan
lho, beliau akan dengan senang hati mempersilahkan siswanya yang ga bikin PR
untuk lari keliling lapangan selama jam pelajarannya berlangsung, non stop!!!
“Lo uda bikin PR matematika, Ya?” Tanya Vio,
teman sebangku ku.
“Uda, gue mah ga mau mati muda, gue
ogah disuruh lari keliling lapangan dua jam full” jawab ku. “elo uda bikin,
Vi?” lanjut ku.
“Uda, tadi gue nyontek punyanya
Agus, hehehehe….” Jawab Vio nyengir.
“Yeeeee….elo nyontek aja bangga!”
cibir ku sambil menoel kepalanya. Vio cuma mesem-mesem.
Suasana masih ramai saat sesosok
tubuh jangkung yang sangat ku kenal masuk kelas. Ya, itu Ata, lengkapnya sih
Rajata tapi aku lebih suka memanggilnya dengan Ata, yaaah bisa dibilang
panggilan sayang sih. Ata adalah pacarku yang juga sekelas denganku.
“Pagi, sayang, uda bikin PR?”
sapanya lembut. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk, kemudian menyerahkan buku
PR-ku padanya. Ganteng-ganteng gitu dia malas bikin PR lho, ntah apa dulu yang
bikin aku suka sama dia, fiyuuuu.
“Apa ini, sayang?” tanyanya heran,
tapi tak urung dia mengambil buku yang ku sodorkan padanya, sebelah alisnya
terangkat membuat wajahya semakin mirip tokoh anime favoritku.
“PR ku, kamu pasti belum buat kan?
Masih ada waktu lagi 10 menit, buruan gih!” jawab ku.
Ata tertawa ngakak, “Hahahahahaha…”.
“aku uda bikin kok, sayang.” Ujarnya disela-sela tawanya sambil menyerahkan
buku PR-nya padaku.
Kini giliranku yang bingung. Aku
memeriksa PR-nya, dan….wow benar semua, aku yakin karena jawabannya sama persis
dengan punyaku. Bukannya sombong tapi aku lumayan dalam pelajaran ini. Ata
hanya tersenyum melihat aku yang kebingungan.
“Kok bisa sih? Nyontek siapa?” tanyaku
heran, tapi aku tidak bisa menyembunyikan nada kagum dalam suaraku.
“Diajarin Kak Cita, dia kan jago
matematika.” Jawab Ata bangga.
“Pantes aja, kamu mana mungkin bisa
bikin sendiri, kamu kan malas.” Sahut ku sarkastis. Ata hanya tersenyum, sudah
biasa dengan ucapan ku yang kadang setajam silet.
“Elo kenapa, Ya? Bengong mulu dari
tadi, ada masalah sama Rajata?” Tanya Vio menepuk bahuku. Vio tentu merasa aneh
karena menurutnya bengong itu “ga Ayodhya banget”.
“Gue ga papa kok, Cuma lagi malas aja.”
Sahutku enggan.
“Ya,
ke kantin yuk, aku lapar,” Tiba-tiba sosok jangkung menjulang di hadapanku. Aku
yang tadi berniat melanjutkan lamunanku sontak kaget. “Haaah?! Apa? Kemana?”
Tanya ku tergagap. Ata ga menjawab, dia menarik tanganku, menuntunku untuk
mengikuti langkahnya. Dia melirik Vio sekilas, “Gue pinjem Aya bentar!” katanya
sambil menarikku pergi.
“Ada
apa?” tanya Ata begitu kami sudah duduk di kantin.
“Haaaah?”
Cuma itu yang keluar dari mulutku. Aku mengumpat diriku yang ga bisa mencari
jawaban yang lebih intelek.
“Kamu
lagi ada masalah? Kok dari tadi aku perhatiin kamu murung terus?” Tanya Ata
lagi.
Aku
hanya menggeleng sambil tersenyum, mencoba bersikap sebiasa mungkin walau
hatiku berdebar. Ata terdiam, aku tau dia ga percaya, tapi Ata lebih memilih
diam. Salah satu hal yang ku sukai darinya, Ata ga pernah maksa aku, dia lebih
memilih menungguku yang bercerita sendiri, dia selalu mengalah bila kami
berdebat tapi dia juga bisa memberiku saran saat aku punya masalah.
“Ya
uda, tapi kalo ada apa-apa, ada aku yang siap bantu kamu kapan pun, dimana pun.”
Tegasnya. Dia tersenyum lembut, mata elangnya menatapku penuh sayang. Duuuh…aku
jadi merasa bersalah. Kalo aja Ata tau yang bikin aku jadi ga beres kaya ini
adalah “dia”, aku ga tau apa Ata masih bisa menatapku penuh sayang seperti ini.
********
Sore
itu turun gerimis, aku yang sedang jalan-jalan di pantai sama Ata terpaksa
berteduh di bale-bale yang ada di sana. Untung pantai sepi, ga ada yang di ajak
berebut tempat berteduh.
“Fiyuuu….untung
ada bale-bale ini yah.” Kataku begitu kami sampai.
“Iya,
tapi kita ga bisa pulang, aku ga bawa jas hujan. Maaf ya, sayang!” sahut Ata,
ada nada bersalah dalam suaranya.
“Ga
papa, paling ntar juga reda.” Aku berusaha menenangkan.
Tapi
kata-kata ku tidak terbukti, hujan malah makin deras. Aku yang mulai merasa kedinginan
merapatkan jaketku yang agak lembab. Ata yang melihatku menggigil melepaskan
jaketnya dan memakaikannya padaku. Mata elangnya menatapku dengan lembut, ia melingkarkan
tangannya di tubuhku lalu merapatkannya dalam pelukannya. Aku merasa hangat,
bahunya benar-benar membuatku nyaman dan tenang.
“Ya,
aku punya sesuatu buat kamu.” Katanya tiba-tiba. Aku menengadah, menatap mata
elangnya. Ata merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah gelang yang
langsung dia pakaikan di tangan kiriku.
“Bagus
banget, makasi ya, sayang.” Kataku sambil mengecup pipinya. Aku mengamati
gelang itu, berwarna orange dengan nuansa keemasan dan dihiasi beberapa batu
permata, cantik sekali.
“Hmmmm,
sebenarnya itu dari kakak ku sih, oleh-oleh dari Semarang, aku disuruh ngasi
karena belakangan ini kamu jarang main ke rumah.” Kata Ata mengagetkaku. Dia
menggaruk-garuk kepalanya sambil nyengir.
“Oh…sampein
rasa terima kasih ku sama dia yah, gelangnya cantik, aku suka.” Kataku gugup,
jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
“Sudah
reda,ayo kita pulang!” ajaknya. Apa ini hanya perasaan ku? Aku menangkap nada
ketus dalam suaranya. Aku mengangguk, dia mengulurkan tangannya membantuku
berdiri. Hujan benar-benar sudah reda, di langit tampak pelangi yang melengkung
indah, mengingatkanku pada seseorang, seseorang yang membuatku serasa menjadi
orang gila. Saat hujan dari langit reda, di hatiku hujan baru saja turun dengan
derasnya.
*****
“Rajata
uda maem? Kakak punya makanan buat kamu.” Tiba-tiba seorang gadis muncul di
hadapan kami. Dia mengenakan T-shirt dengan gambar anime dan celana pendek
selutut. Rambut sebahunya membuat wajahnya yang bersih dari make-up dan jerawat
terlihat chic dan fresh. Oh my God,
diusianya yang menginjak 28 tahun dia tampak seumuran denganku. Wajahnya yang
putih mulus membuatnya terlihat cute. Kapan aku punya wajah kaya dia ya?
batinku.
Saat
itu aku ada di rumah Ata, sudah lama aku ga main ke sana dan aku bener-benar ga
nyangka kakaknya ada di rumah. Sepertinya aku berkunjung di saat yang tidak
tepat, keluhku dalam hati.
“Ga
kerja, Kak?” sapaku berusaha ramah. Aku mencoba tersenyum menyembunyikan debar
jantungku. Aku ga mau terlihat gugup dan bersikap konyol di depannya.
“Aku
bolos” sahutnya singkat, tanpa menatapku tentu saja, “Rajata uda maem?”
tanyanya kembali pada Ata.
“Udah,
tadi makan sama Aya.” Jawab Ata akhirnya.
“Ya
udah kalo gitu. Hmmmm, ntar malem nonton Eclipse yuk!” ajaknya pada adiknya.
Aku
merasa dianggap tidak ada. Bukan sekali dua kali aku merasa seperti ini. Sosok
semampai di depanku itu benar-benar membuatku tak berkutik, aku ga pernah bisa
menebak apa yang dipikirkan gadis itu. Mata elangnya yang mirip dengan Ata
penuh misteri buatku dan tentu saja bisa menyerap seluruh keberanianku.
“Hmmmm,
liat ntar deh. Ga janji!” jawab Ata. Kak Cita tersenyum lalu beranjak
meninggalkan kami.
“Dia
emang gitu kok, agak jutek. Aku juga sering dijutekin, tapi sebenernya dia baik,
jadi sikapnya tadi ga usah dimasukin ke hati ya.” Kata Ata tiba-tiba
mengagetkanku. Apa dia tau apa yang ku pikirin ya?
“Dia
resign dari tempat kerjanya, mau
fokus ngerjain skripsinya. Walau pinter, dia pasti kewalahan bagi waktu.” Tanpa
diminta Ata menjelaskan kenapa kakaknya ada di rumah.
Kemudian
cerita-cerita tentang kakaknya mengalir lancar dari mulut Ata. Cerita yang
tanpa sepengetahuannya semakin membuatku merasa kecil, jatuh dan terinjak. Namun
demikian aku berusaha tetap tenang mendengarkan cerita Ata tentang kakaknya
yang pintar, pekerja keras, mandiri, tegas, sayang pada keluarga, punya
kepribadian yang unik, dan sebagainya. Aku semakin menciut, mataku mulai
berkaca-kaca. Oh my God, perasaan
macam apa ini? Aku berusaha menahan agar air mataku tidak jatuh.
“Ya,
kamu kenapa sih, sakit?” Tanya Ata khawatir. Dia menyentuh dahiku memastikan
aku baik-baik saja.
“Aku
ga papa kok, cuma agak cape” jawabku, “uda sore, aku pulang dulu ya, tadi aku ga
pamit sama ibu.” Sambungku. Walau belum puas Ata mengangguk. Dia mengantarku
sampai ke depan rumahnya.
“Besok
pagi aku jemput.” Katanya waktu aku menyetop taxi. Aku hanya mengangguk sambil melambaikan
tangan.
Di
sepanjang perjalanan pulang pikiranku dipenuhi oleh “dia”, wajahnya dan
cerita-cerita tentang dia selama ini. Ya, orang yang membuatku cemburu, ga pede,
merasa rendah diri dan ga layak pacaran sama Ata adalah Pelangi Nacita, yang ku
panggil Kak Cita, kakak pacarku sendiri!
Malamnya
aku kembali mengamati diriku di cermin. Sekilas aku terlihat mirip dengan Kak
Cita, teman-temanku juga bilang kami mirip waktu aku liatin fotonya yang ku download diam-diam dari facebooknya. Ya Tuhan, sampai kapan aku
kaya gini terus? Merasa rendah diri, cemburu kalo dia punya waktu lebih banyak
dan ngasi perhatian lebih ke Ata. Dia kan kakaknya, kenapa aku harus cemburu, kenapa
aku harus merasa ga rela? Gumamku sendiri.
Aku
beranjak ke tempat tidurku, membenamkan tubuhku dalam selimut. Mataku terpejam,
dari sana mulai mengalir tetes-tetes bening. Aku menangis, menangisi kebodohanku
selama ini, what a fool me! Detik itu
juga aku bertekad akan menceritakan semuanya pada Ata, aku harus bersedia
menerima kenyataan kalo pada akhirnya Ata akan benci padaku. Aku sudah lelah
menjadi orang bodoh, sudah cukup, aku menyerah.
Paginya
Ata terkejut melihat mataku yang sembab saat menjemputku. “Ayo naik!” katanya.
Ada nada khawatir yang ku tangkap dari suaranya. Aku naik ke boncengan
motornya. Ata mulai melajukan motornya, makin lama makin kencang sehingga aku
mempererat pelukanku.
Tapi,
heiiii, ini bukan ke arah sekolah, perasaanku jadi tidak enak. “Kita mau
kemana? Lima belas menit lagi bel lho, kita bisa telat.” Teriak ku di sela deru
motornya.
“Kita
bolos, kamu berhutang penjelasan sama aku!” sahutnya tegas, tak bisa dibantah.
Aku terhenyak dan tak berkata apa-apa lagi.
Ata
membawaku ke pantai. Karena hari masih pagi pantai sangat sepi, hanya ada dua
orang yang sedang memancing dari atas perahu. Ata menarik ku duduk ke bebatuan
yang terlindung dari sinar matahari. Matanya tajam menatapku yang hanya
menunduk.
“Jadi,
apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan kakakku?” tembaknya langsung
mengagetkanku.
Aku
memgeleng tetap dengan wajah menunduk, tak berani menatap wajahnya. Ata
mengangkat daguku sehingga mata kami berhadapan, “ga usah bohong!” katanya
lagi. Aku menghela napas, mengumpulkan segenap keberanianku lalu mengangguk
pelan. Ata tidak tampak terkejut, dia
ikut menghela napas, matanya lurus tertuju padaku.
“Kamu
diapain sama dia, Ya?” katanya lagi setelah terdiam cukup lama.
“Ga
diapa-apain kok, aku cuma ngerasa segan aja kalo ketemu dia” sahutku pelan.
“kadang aku ngerasa dia ga suka sama aku, habis aku sering dijutekin, ga pernah
di ajak ngomong, hmmmm, maksudku jarang diajak ngobrol. Mau nyapa duluan takut
ga dijawab.” Akhirnya pengakuan meluncur begitu saja dari mulutku.
“Selain
itu?” Tanya Ata penasaran, ada sedikit nada kaget dalam suaranya.
“Ga
tau kenapa, aku cemburu kalo kamu jalan sama Kak Cita, saat dia bisa ngasi
waktu dan perhatian lebih yang ga bisa aku kasi ke kamu.” Jawabku jujur, masih
menunduk, tak berani menatap mata elangnya, tak berani menebak gesturnya.
“Ada
lagi?” tanyanya mulai gusar.
“Aku
selalu memandingkan diriku sama Kak Cita dan itu membuatku merasa lebih
rendah.” Kataku sambil melirik sekilas reaksi Ata. Ata hanya geleng-geleng
kepala mendengar penjelasanku. Walaupun sudah menyangka penyebab kemurungan dan
keanehan sikapku ini karena Kak Cita, dia tidak menyangka kalo aku punya
pikiran sejauh itu.
“Ata
marah ya sama aku? Bukan berarti aku ga suka sama Kak Cita, aku malah pengen
deket dan akrab sama dia, cuma aku ga tau harus mulai dari mana, aku selalu
berusaha mendekatkan diri, tapi dia malah menjauh setiap ku dekati.” Kataku
takut-takut. “Aku sedih waktu aku mau beliin kamu sepatu tapi kamu bilang Kak
Cita yang akan beliin. Aku ngerasa ga dibutuhin.” Lanjutku. Mataku mulai
berkaca-kaca, aku benci sekali sifatku yang satu ini, cengeng!
Ata
mengangkat daguku, menghapus air mataku yang mengalir tanpa bisa dicegah. Dia
meletakkan kepalaku dalam pelukannya, membuat tangisku makin pecah. “Aku ga
marah kok, sayang. Aku cuma ga nyangka kamu punya pikiran kaya gitu.” Katanya
pelan, “ Kak Cita memang jutek, aku juga sering dijutekin, dia juga ga
sesempurna yang kamu banyangin, semua orang punya kelebihan dan kekurangan,
termasuk Kak Cita.” Tuturnya sambil membelai kepalaku, membuat kepalaku makin
terbenam dalam pelukannya.
Aku
berusaha mencerna kata-katanya. Benar, ga ada manusia yang sempurna, termasuk
Kak Cita. Aku ga pernah berpikir mungkin aku punya sesuatu yang ga dia punya.
Aku punya pacar yang baik hati, pengertian dan tentunya sangat menyayagiku yang
mungkin dia ga punya, aku punya banyak teman yang sayang dan care sama aku yang mungkin dia ga punya.
Aku jadi malu, oh my God, what a fool me!. Ata benar, Kak Cita
sebenernya baik, buktinya dia ingat beliin aku oleh-oleh, dia juga pernah ngasi
aku jam tangan sebelumnya. Kalo aku main kesana kadang aku juga ditraktir
makan. Dia juga punys jiwa social yang tinggi, Kak Cita sering menyumbanh ke panti
asuhan dan acara pengumpulan dana untuk amal, aku juga ingin seperti itu. Tapi
aku masih merasa dia jauh lebih cantik dari aku.
“Kamu
juga cantik kok, sayang. Salahku juga ga bias menjembatani kalian, dua orang
penting dalam hidupku.” Kata Ata seolah dia tau apa yang ku pikirkan barusan,
“kapan-kapan kita jalan bertiga, siapa tau dengan sering ketemu dan pergi
bareng kalian bisa jadi lebih akrab.” Sambungnya.
Aku
melepaskan diriku dari pelukannya, kali ini aku balas menatap mata elangnya
yang menatapku, masih dengan tatapan seperti biasanya, tak berubah, lembut dan
meneduhkan.
Dia
tersenyum sambil menghapus air mataku. “sudah lega?” tanyanya.
Aku
mengangguk dan tersenyum, “belum pernah selega ini sejak pertama kali kenal Kak
Cita, hahahahaha….”
“Makanya
kalo ada apa-apa cerita, jangan diumpetin!” sindir Ata membuatku cemberut. ”
Mungkin ada baiknya kalo aku cerita ke Kak Cita, biar dia bisa memempatkan
diri.” Kata Ata membuatku kaget setengah mampus.
“Jangan!!
Gila aja, mau ditaruh dimana mukaku kalo ketemu sama dia?” kataku panik.
“Ga
janji ya, habis kamu aneh sih, cemburu sama Kak Cita. Asli dia pasti ngakak
seharian kalo tau hal ini.” Sahutnya. Aku melihat kerling jahil di matanya. Aku
makin cemberut dan Ata tertawa melihatku.
Tiba-tiba
ponselku bergetar. Aku merogoh saku seragamku mencari ponselku. Satu pesan dari
Vio yang menanyakan keberadaanku dan Ata yang kompak ga masuk sekolah. Ya
ampuuuun, aku lupa ngasi tau Vio kalo kami bolos, waaaa, parah! Ata hanya
garuk-garuk kepala waktu aku bacain sms Vio.
Aku
kemudian membalas sms itu.
Gw
m tahta bolos, ijinin y, bsk gw crita smua. Tq.
Aku kemudian mengirim sms itu. Ya,
aku juga berhutang penjelasan sama Vio. Aku rasa dia berhak tau penyebab
kemurunganku selama ini yang selalu dia pertanyakan.
“So?”
kata Ata kemudiam setelah jeda sms dari Vi barusan.
“What?”
aku balik bertanya.
“Aku sms Kak Cita kali ya?” katanya
sambil berlari. Dia mengancung-ngancungkan ponselnya menggodaku. Aku
mengejarnya, mencoba merebut ponselnya. Kami seperti anak kecil, kejar-kejaran,
ga peduli sepatu kotor dan basah kena pasir dan ombak.
“Huaaaah,,,,,aku cape!” keluh Ata
sambil merebahkan diri di pasir. Aku mengikuti jejaknya, napasku
terengah-engah, ternyata berlari memang bukan keahlianku. Ata hanya tersenyum menatapku.
“Awas kalo kamu ngasi tau Kak Cita,
aku gigitin kamu sampe biru-biru!” ancamku galak. Sebagai jawaban Ata hanya
tertawa sambil mengacak-ngacak rambutku.
Matahari makin terik, kami yang
mulai kepanasan beranjak dari sana. Kali ini langkahku ringan, aku sangat lega.
Aku menggandeng tangan Ata selama menuju parkiran. Ata tersenyum sambil
sesekali mencubit mesra pipiku.
30/09-10
Basmatika
Awiq
*Terkadang yang sempurna itu
juga merasa tak sempurna, just be ur self!!!
Komentar
Posting Komentar