Langsung ke konten utama

Pelangi di antara Aku dan Dia

  Pelangi di antara Aku dan Dia                       


Aku cemburu! Seharusnya perasaan ini ga ada, benar-benar a stupid feeling, batinku kesal. Hampir sejam aku mematung di depan cermin, mengamati bayanganku. Tidak ada yang salah, aku ga jelek-jelek amat, tapi begitu aku ingat dia, aku merasa seperti bebek buruk rupa.
            Namaku Ayodhya Basmatika, biasa disapa Aya, nama yang unik bukan? Nama yang ku dapat karena rasa cinta mamaku pada kisah Ramayana. Tapi namanya lebih indah lagi, sangat indah malah! Arrrrrghhh…..lagi-lagi dia, umpatku dalam hati. Aku beranjak dari depan cermin menuju tempat tidurku yang nyaman. Aku mencoba tidur, namun sebelumnya aku berdoa, “Ya Tuhan, semoga malam ini aku ga mimpiin dia lagi, amin!” bisik ku.
            Pagi itu kelasku sangat ramai, hampir semua penghuninya berebut menyontek PR matematika. Ya ampuuuuun, mereka nekat banget sih, uda tau dapat matematikanya jam pertama dan parahnya lagi, sang guru yang bernama Pak Angkoro sadis bukan main. Aku ga melebih-lebihkan lho, beliau akan dengan senang hati mempersilahkan siswanya yang ga bikin PR untuk lari keliling lapangan selama jam pelajarannya berlangsung, non stop!!!
             “Lo uda bikin PR matematika, Ya?” Tanya Vio, teman sebangku ku.
            “Uda, gue mah ga mau mati muda, gue ogah disuruh lari keliling lapangan dua jam full” jawab ku. “elo uda bikin, Vi?” lanjut ku.
            “Uda, tadi gue nyontek punyanya Agus, hehehehe….” Jawab Vio nyengir.
            “Yeeeee….elo nyontek aja bangga!” cibir ku sambil menoel kepalanya. Vio cuma mesem-mesem.
            Suasana masih ramai saat sesosok tubuh jangkung yang sangat ku kenal masuk kelas. Ya, itu Ata, lengkapnya sih Rajata tapi aku lebih suka memanggilnya dengan Ata, yaaah bisa dibilang panggilan sayang sih. Ata adalah pacarku yang juga sekelas denganku.
            “Pagi, sayang, uda bikin PR?” sapanya lembut. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk, kemudian menyerahkan buku PR-ku padanya. Ganteng-ganteng gitu dia malas bikin PR lho, ntah apa dulu yang bikin aku suka sama dia, fiyuuuu.
            “Apa ini, sayang?” tanyanya heran, tapi tak urung dia mengambil buku yang ku sodorkan padanya, sebelah alisnya terangkat membuat wajahya semakin mirip tokoh anime favoritku.
            “PR ku, kamu pasti belum buat kan? Masih ada waktu lagi 10 menit, buruan gih!” jawab ku.
            Ata tertawa ngakak, “Hahahahahaha…”. “aku uda bikin kok, sayang.” Ujarnya disela-sela tawanya sambil menyerahkan buku PR-nya padaku.
            Kini giliranku yang bingung. Aku memeriksa PR-nya, dan….wow benar semua, aku yakin karena jawabannya sama persis dengan punyaku. Bukannya sombong tapi aku lumayan dalam pelajaran ini. Ata hanya tersenyum melihat aku yang kebingungan.
            “Kok bisa sih? Nyontek siapa?” tanyaku heran, tapi aku tidak bisa menyembunyikan nada kagum dalam suaraku.
            “Diajarin Kak Cita, dia kan jago matematika.” Jawab Ata bangga.
            “Pantes aja, kamu mana mungkin bisa bikin sendiri, kamu kan malas.” Sahut ku sarkastis. Ata hanya tersenyum, sudah biasa dengan ucapan ku yang kadang setajam silet.
            “Elo kenapa, Ya? Bengong mulu dari tadi, ada masalah sama Rajata?” Tanya Vio menepuk bahuku. Vio tentu merasa aneh karena menurutnya bengong itu “ga Ayodhya banget”.
 “Gue ga papa kok, Cuma lagi malas aja.” Sahutku enggan.
“Ya, ke kantin yuk, aku lapar,” Tiba-tiba sosok jangkung menjulang di hadapanku. Aku yang tadi berniat melanjutkan lamunanku sontak kaget. “Haaah?! Apa? Kemana?” Tanya ku tergagap. Ata ga menjawab, dia menarik tanganku, menuntunku untuk mengikuti langkahnya. Dia melirik Vio sekilas, “Gue pinjem Aya bentar!” katanya sambil menarikku pergi.
“Ada apa?” tanya Ata begitu kami sudah duduk di kantin.
“Haaaah?” Cuma itu yang keluar dari mulutku. Aku mengumpat diriku yang ga bisa mencari jawaban yang lebih intelek.
“Kamu lagi ada masalah? Kok dari tadi aku perhatiin kamu murung terus?” Tanya Ata lagi.
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, mencoba bersikap sebiasa mungkin walau hatiku berdebar. Ata terdiam, aku tau dia ga percaya, tapi Ata lebih memilih diam. Salah satu hal yang ku sukai darinya, Ata ga pernah maksa aku, dia lebih memilih menungguku yang bercerita sendiri, dia selalu mengalah bila kami berdebat tapi dia juga bisa memberiku saran saat aku punya masalah.
“Ya uda, tapi kalo ada apa-apa, ada aku yang siap bantu kamu kapan pun, dimana pun.” Tegasnya. Dia tersenyum lembut, mata elangnya menatapku penuh sayang. Duuuh…aku jadi merasa bersalah. Kalo aja Ata tau yang bikin aku jadi ga beres kaya ini adalah “dia”, aku ga tau apa Ata masih bisa menatapku penuh sayang seperti ini.
                                                           ********
Sore itu turun gerimis, aku yang sedang jalan-jalan di pantai sama Ata terpaksa berteduh di bale-bale yang ada di sana. Untung pantai sepi, ga ada yang di ajak berebut tempat berteduh.
“Fiyuuu….untung ada bale-bale ini yah.” Kataku begitu kami sampai.
“Iya, tapi kita ga bisa pulang, aku ga bawa jas hujan. Maaf ya, sayang!” sahut Ata, ada nada bersalah dalam suaranya.
“Ga papa, paling ntar juga reda.” Aku berusaha menenangkan.
Tapi kata-kata ku tidak terbukti, hujan malah makin deras. Aku yang mulai merasa kedinginan merapatkan jaketku yang agak lembab. Ata yang melihatku menggigil melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku. Mata elangnya menatapku dengan lembut, ia melingkarkan tangannya di tubuhku lalu merapatkannya dalam pelukannya. Aku merasa hangat, bahunya benar-benar membuatku nyaman dan tenang.
“Ya, aku punya sesuatu buat kamu.” Katanya tiba-tiba. Aku menengadah, menatap mata elangnya. Ata merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah gelang yang langsung dia pakaikan di tangan kiriku.
“Bagus banget, makasi ya, sayang.” Kataku sambil mengecup pipinya. Aku mengamati gelang itu, berwarna orange dengan nuansa keemasan dan dihiasi beberapa batu permata, cantik sekali.
“Hmmmm, sebenarnya itu dari kakak ku sih, oleh-oleh dari Semarang, aku disuruh ngasi karena belakangan ini kamu jarang main ke rumah.” Kata Ata mengagetkaku. Dia menggaruk-garuk kepalanya sambil nyengir.
“Oh…sampein rasa terima kasih ku sama dia yah, gelangnya cantik, aku suka.” Kataku gugup, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
“Sudah reda,ayo kita pulang!” ajaknya. Apa ini hanya perasaan ku? Aku menangkap nada ketus dalam suaranya. Aku mengangguk, dia mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Hujan benar-benar sudah reda, di langit tampak pelangi yang melengkung indah, mengingatkanku pada seseorang, seseorang yang membuatku serasa menjadi orang gila. Saat hujan dari langit reda, di hatiku hujan baru saja turun dengan derasnya.
                                                            *****
“Rajata uda maem? Kakak punya makanan buat kamu.” Tiba-tiba seorang gadis muncul di hadapan kami. Dia mengenakan T-shirt dengan gambar anime dan celana pendek selutut. Rambut sebahunya membuat wajahnya yang bersih dari make-up dan jerawat terlihat chic dan fresh. Oh my God, diusianya yang menginjak 28 tahun dia tampak seumuran denganku. Wajahnya yang putih mulus membuatnya terlihat cute. Kapan aku punya wajah kaya dia ya? batinku.
Saat itu aku ada di rumah Ata, sudah lama aku ga main ke sana dan aku bener-benar ga nyangka kakaknya ada di rumah. Sepertinya aku berkunjung di saat yang tidak tepat, keluhku dalam hati.
“Ga kerja, Kak?” sapaku berusaha ramah. Aku mencoba tersenyum menyembunyikan debar jantungku. Aku ga mau terlihat gugup dan bersikap konyol di depannya.
“Aku bolos” sahutnya singkat, tanpa menatapku tentu saja, “Rajata uda maem?” tanyanya kembali pada Ata.
“Udah, tadi makan sama Aya.” Jawab Ata akhirnya.
“Ya udah kalo gitu. Hmmmm, ntar malem nonton Eclipse yuk!” ajaknya pada adiknya.
Aku merasa dianggap tidak ada. Bukan sekali dua kali aku merasa seperti ini. Sosok semampai di depanku itu benar-benar membuatku tak berkutik, aku ga pernah bisa menebak apa yang dipikirkan gadis itu. Mata elangnya yang mirip dengan Ata penuh misteri buatku dan tentu saja bisa menyerap seluruh keberanianku.
“Hmmmm, liat ntar deh. Ga janji!” jawab Ata. Kak Cita tersenyum lalu beranjak meninggalkan kami.
“Dia emang gitu kok, agak jutek. Aku juga sering dijutekin, tapi sebenernya dia baik, jadi sikapnya tadi ga usah dimasukin ke hati ya.” Kata Ata tiba-tiba mengagetkanku. Apa dia tau apa yang ku pikirin ya?
“Dia resign dari tempat kerjanya, mau fokus ngerjain skripsinya. Walau pinter, dia pasti kewalahan bagi waktu.” Tanpa diminta Ata menjelaskan kenapa kakaknya ada di rumah.
Kemudian cerita-cerita tentang kakaknya mengalir lancar dari mulut Ata. Cerita yang tanpa sepengetahuannya semakin membuatku merasa kecil, jatuh dan terinjak. Namun demikian aku berusaha tetap tenang mendengarkan cerita Ata tentang kakaknya yang pintar, pekerja keras, mandiri, tegas, sayang pada keluarga, punya kepribadian yang unik, dan sebagainya. Aku semakin menciut, mataku mulai berkaca-kaca. Oh my God, perasaan macam apa ini? Aku berusaha menahan agar air mataku tidak jatuh.
“Ya, kamu kenapa sih, sakit?” Tanya Ata khawatir. Dia menyentuh dahiku memastikan aku baik-baik saja.
“Aku ga papa kok, cuma agak cape” jawabku, “uda sore, aku pulang dulu ya, tadi aku ga pamit sama ibu.” Sambungku. Walau belum puas Ata mengangguk. Dia mengantarku sampai ke depan rumahnya.
“Besok pagi aku jemput.” Katanya waktu aku menyetop taxi. Aku hanya mengangguk sambil melambaikan tangan.
Di sepanjang perjalanan pulang pikiranku dipenuhi oleh “dia”, wajahnya dan cerita-cerita tentang dia selama ini. Ya, orang yang membuatku cemburu, ga pede, merasa rendah diri dan ga layak pacaran sama Ata adalah Pelangi Nacita, yang ku panggil Kak Cita, kakak pacarku sendiri!
Malamnya aku kembali mengamati diriku di cermin. Sekilas aku terlihat mirip dengan Kak Cita, teman-temanku juga bilang kami mirip waktu aku liatin fotonya yang ku download diam-diam dari facebooknya. Ya Tuhan, sampai kapan aku kaya gini terus? Merasa rendah diri, cemburu kalo dia punya waktu lebih banyak dan ngasi perhatian lebih ke Ata. Dia kan kakaknya, kenapa aku harus cemburu, kenapa aku harus merasa ga rela? Gumamku sendiri.
Aku beranjak ke tempat tidurku, membenamkan tubuhku dalam selimut. Mataku terpejam, dari sana mulai mengalir tetes-tetes bening. Aku menangis, menangisi kebodohanku selama ini, what a fool me! Detik itu juga aku bertekad akan menceritakan semuanya pada Ata, aku harus bersedia menerima kenyataan kalo pada akhirnya Ata akan benci padaku. Aku sudah lelah menjadi orang bodoh, sudah cukup, aku menyerah.
Paginya Ata terkejut melihat mataku yang sembab saat menjemputku. “Ayo naik!” katanya. Ada nada khawatir yang ku tangkap dari suaranya. Aku naik ke boncengan motornya. Ata mulai melajukan motornya, makin lama makin kencang sehingga aku mempererat pelukanku.
Tapi, heiiii, ini bukan ke arah sekolah, perasaanku jadi tidak enak. “Kita mau kemana? Lima belas menit lagi bel lho, kita bisa telat.” Teriak ku di sela deru motornya.
“Kita bolos, kamu berhutang penjelasan sama aku!” sahutnya tegas, tak bisa dibantah. Aku terhenyak dan tak berkata apa-apa lagi.
Ata membawaku ke pantai. Karena hari masih pagi pantai sangat sepi, hanya ada dua orang yang sedang memancing dari atas perahu. Ata menarik ku duduk ke bebatuan yang terlindung dari sinar matahari. Matanya tajam menatapku yang hanya menunduk.
“Jadi, apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan kakakku?” tembaknya langsung mengagetkanku.
Aku memgeleng tetap dengan wajah menunduk, tak berani menatap wajahnya. Ata mengangkat daguku sehingga mata kami berhadapan, “ga usah bohong!” katanya lagi. Aku menghela napas, mengumpulkan segenap keberanianku lalu mengangguk pelan.  Ata tidak tampak terkejut, dia ikut menghela napas, matanya lurus tertuju padaku.
“Kamu diapain sama dia, Ya?” katanya lagi setelah terdiam cukup lama.
“Ga diapa-apain kok, aku cuma ngerasa segan aja kalo ketemu dia” sahutku pelan. “kadang aku ngerasa dia ga suka sama aku, habis aku sering dijutekin, ga pernah di ajak ngomong, hmmmm, maksudku jarang diajak ngobrol. Mau nyapa duluan takut ga dijawab.” Akhirnya pengakuan meluncur begitu saja dari mulutku.
“Selain itu?” Tanya Ata penasaran, ada sedikit nada kaget dalam suaranya.
“Ga tau kenapa, aku cemburu kalo kamu jalan sama Kak Cita, saat dia bisa ngasi waktu dan perhatian lebih yang ga bisa aku kasi ke kamu.” Jawabku jujur, masih menunduk, tak berani menatap mata elangnya, tak berani menebak gesturnya.
“Ada lagi?” tanyanya mulai gusar.
“Aku selalu memandingkan diriku sama Kak Cita dan itu membuatku merasa lebih rendah.” Kataku sambil melirik sekilas reaksi Ata. Ata hanya geleng-geleng kepala mendengar penjelasanku. Walaupun sudah menyangka penyebab kemurungan dan keanehan sikapku ini karena Kak Cita, dia tidak menyangka kalo aku punya pikiran sejauh itu.
“Ata marah ya sama aku? Bukan berarti aku ga suka sama Kak Cita, aku malah pengen deket dan akrab sama dia, cuma aku ga tau harus mulai dari mana, aku selalu berusaha mendekatkan diri, tapi dia malah menjauh setiap ku dekati.” Kataku takut-takut. “Aku sedih waktu aku mau beliin kamu sepatu tapi kamu bilang Kak Cita yang akan beliin. Aku ngerasa ga dibutuhin.” Lanjutku. Mataku mulai berkaca-kaca, aku benci sekali sifatku yang satu ini, cengeng!
Ata mengangkat daguku, menghapus air mataku yang mengalir tanpa bisa dicegah. Dia meletakkan kepalaku dalam pelukannya, membuat tangisku makin pecah. “Aku ga marah kok, sayang. Aku cuma ga nyangka kamu punya pikiran kaya gitu.” Katanya pelan, “ Kak Cita memang jutek, aku juga sering dijutekin, dia juga ga sesempurna yang kamu banyangin, semua orang punya kelebihan dan kekurangan, termasuk Kak Cita.” Tuturnya sambil membelai kepalaku, membuat kepalaku makin terbenam dalam pelukannya.
Aku berusaha mencerna kata-katanya. Benar, ga ada manusia yang sempurna, termasuk Kak Cita. Aku ga pernah berpikir mungkin aku punya sesuatu yang ga dia punya. Aku punya pacar yang baik hati, pengertian dan tentunya sangat menyayagiku yang mungkin dia ga punya, aku punya banyak teman yang sayang dan care sama aku yang mungkin dia ga punya. Aku jadi malu, oh my God, what a fool me!. Ata benar, Kak Cita sebenernya baik, buktinya dia ingat beliin aku oleh-oleh, dia juga pernah ngasi aku jam tangan sebelumnya. Kalo aku main kesana kadang aku juga ditraktir makan. Dia juga punys jiwa social yang tinggi, Kak Cita sering menyumbanh ke panti asuhan dan acara pengumpulan dana untuk amal, aku juga ingin seperti itu. Tapi aku masih merasa dia jauh lebih cantik dari aku.
“Kamu juga cantik kok, sayang. Salahku juga ga bias menjembatani kalian, dua orang penting dalam hidupku.” Kata Ata seolah dia tau apa yang ku pikirkan barusan, “kapan-kapan kita jalan bertiga, siapa tau dengan sering ketemu dan pergi bareng kalian bisa jadi lebih akrab.” Sambungnya.
Aku melepaskan diriku dari pelukannya, kali ini aku balas menatap mata elangnya yang menatapku, masih dengan tatapan seperti biasanya, tak berubah, lembut dan meneduhkan.
Dia tersenyum sambil menghapus air mataku. “sudah lega?” tanyanya.
Aku mengangguk dan tersenyum, “belum pernah selega ini sejak pertama kali kenal Kak Cita, hahahahaha….”
“Makanya kalo ada apa-apa cerita, jangan diumpetin!” sindir Ata membuatku cemberut. ” Mungkin ada baiknya kalo aku cerita ke Kak Cita, biar dia bisa memempatkan diri.” Kata Ata membuatku kaget setengah mampus.
“Jangan!! Gila aja, mau ditaruh dimana mukaku kalo ketemu sama dia?” kataku panik.
“Ga janji ya, habis kamu aneh sih, cemburu sama Kak Cita. Asli dia pasti ngakak seharian kalo tau hal ini.” Sahutnya. Aku melihat kerling jahil di matanya. Aku makin cemberut dan Ata tertawa melihatku.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku merogoh saku seragamku mencari ponselku. Satu pesan dari Vio yang menanyakan keberadaanku dan Ata yang kompak ga masuk sekolah. Ya ampuuuun, aku lupa ngasi tau Vio kalo kami bolos, waaaa, parah! Ata hanya garuk-garuk kepala waktu aku bacain sms Vio.
Aku kemudian membalas sms itu.
Gw m tahta bolos, ijinin y, bsk gw crita smua. Tq.
            Aku kemudian mengirim sms itu. Ya, aku juga berhutang penjelasan sama Vio. Aku rasa dia berhak tau penyebab kemurunganku selama ini yang selalu dia pertanyakan.
            “So?” kata Ata kemudiam setelah jeda sms dari Vi barusan.
            “What?” aku balik bertanya.
            “Aku sms Kak Cita kali ya?” katanya sambil berlari. Dia mengancung-ngancungkan ponselnya menggodaku. Aku mengejarnya, mencoba merebut ponselnya. Kami seperti anak kecil, kejar-kejaran, ga peduli sepatu kotor dan basah kena pasir dan ombak.
            “Huaaaah,,,,,aku cape!” keluh Ata sambil merebahkan diri di pasir. Aku mengikuti jejaknya, napasku terengah-engah, ternyata berlari memang bukan keahlianku. Ata hanya tersenyum menatapku.
            “Awas kalo kamu ngasi tau Kak Cita, aku gigitin kamu sampe biru-biru!” ancamku galak. Sebagai jawaban Ata hanya tertawa sambil mengacak-ngacak rambutku.
            Matahari makin terik, kami yang mulai kepanasan beranjak dari sana. Kali ini langkahku ringan, aku sangat lega. Aku menggandeng tangan Ata selama menuju parkiran. Ata tersenyum sambil sesekali mencubit mesra pipiku.
            Hari ini aku menyadari sesuatu. Mungkin yang ku anggap sempurna juga merasa tak sempurna.
30/09-10
Basmatika Awiq


*Terkadang yang sempurna itu juga merasa tak sempurna, just be ur self!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susahnya menjadi Aku

Hah? Seriously? Hidup ku lhoo lebih berat dari kamu. Aku lho punya lebih banyak tanggungan dari kamu. Mungkin gitu kali ya pikiran kalian saat liat judul blog ku kali ini. Ga salah sih, hidup emang berat, bahkan bagi seorang Nia Ramadhani yang ga bisa ngupas salak.  Ah kamu aja yang ga bisa bersyukur, ada pula yang mungkin berpikiran seperti itu. Gapapa, itu pikiran kalian, itu pendapat kalian dan aku ga bisa larang kalian mau ngomong apa dan berpendapat kaya apa tentang aku, salah ku sih yang dikit-dikit baper, fiyuuuu.... Kenapa susah jadi “Aku”? Karena seorang “aku” ini sering kali kena komplain. Aku kasi tau yaa, masuk di lingkungan baru ga pernah mudah, bahkan bagi seorang "AKU" yang konon termasuk gampang beradaptasi. Tapi ini beda mamens, kebiasaan lama kita belum tentu bisa diterima, begitupula kebiasaan di tempat baru, belum tentu bisa kita terima dengan baik. Sebut saja si A, komplain karena aku ga pernah dilihat ngobrol sama anak nya yang lebetulan lama ting

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel