Langsung ke konten utama

Susahnya menjadi Aku



Hah? Seriously? Hidup ku lhoo lebih berat dari kamu. Aku lho punya lebih banyak tanggungan dari kamu. Mungkin gitu kali ya pikiran kalian saat liat judul blog ku kali ini. Ga salah sih, hidup emang berat, bahkan bagi seorang Nia Ramadhani yang ga bisa ngupas salak. 
Ah kamu aja yang ga bisa bersyukur, ada pula yang mungkin berpikiran seperti itu. Gapapa, itu pikiran kalian, itu pendapat kalian dan aku ga bisa larang kalian mau ngomong apa dan berpendapat kaya apa tentang aku, salah ku sih yang dikit-dikit baper, fiyuuuu....

Kenapa susah jadi “Aku”? Karena seorang “aku” ini sering kali kena komplain. Aku kasi tau yaa, masuk di lingkungan baru ga pernah mudah, bahkan bagi seorang "AKU" yang konon termasuk gampang beradaptasi. Tapi ini beda mamens, kebiasaan lama kita belum tentu bisa diterima, begitupula kebiasaan di tempat baru, belum tentu bisa kita terima dengan baik. Sebut saja si A, komplain karena aku ga pernah dilihat ngobrol sama anak nya yang lebetulan lama tinggal di rumah (ga bisa pulang ke pulau sebelah gara-gara mba coro). Menurut ku pribadi nyapa saat ketemu dan papasan aja uda cukup, rumah kami sebelahan dan ga ada pembatas, khas rumah keluarga Bali yang masih punya hubungan saudara. Tapi bagi si A itu ga cukup, mungkin kesannya aku ga sopan dan ga pedulian, ya uda aku kena komplain deh. Si A ngomong ke ibu mertua, ibu mertua ngasi tau suami trus suami ngomong ke aku. Gimana rasanya dikomplain? Langsung baper donk, masih mending kayaknya di komplain tamu China resek. Tapi mau gimana lagi, mau ngasi penjelasan juga percuma ntar dianggap nyari pembenaran dan pembelaan doank. Rasanya uda malas pake banget benerin persepsi orang tentang aku. Biarlah mereka berpikir tentang aku semau mereka, toh mikir juga ga pake syarat dan ketentuan yang berlaku, bebas pokoknya. 

Belum lagi sebut aja si B, masih saudara juga sih (fun fact: semenjak nikah saudara ku bertambah pulukan kali lipat 😅), yang ngobrol sama anaknya tentang si C yang juga masih saudara. Kalian bingung? Samaaaaa....aku yang cuma jadi pendengar aja bingung. Nah si B dan anaknya ini kayak lagi diem-dieman gitu sama si C karena mereka nganggap si C ini omongannya kelewat batas dan bikin rumah tangga si D ( yessss, si D masih keluarga juga) berantakan. Udah deh kalian ga usah tanya detailnya gimana, soalnya aku cuma jadi pendengar atau kasarnya sih cuman nguping mereka ngobrol  karena aku ada disana duduk manis di depan si B dan anaknya, betewe saat itu ada anaknya si A juga lhooo. Jadi sebenernya aku ga bisa dibilang ga pernah ngobrol sama anaknya si A ini. Kalau yang dimaksud ngobrol 4 mata dari hati ke hati ya emang ga pernah sih. Trus si B bilang gini ke aku “kadek nanti jangan gitu ya, bagus-bagusin ngomong, jangan asal aja” (dalam bahasa Bali). Aku jawab kaya gini nih sekalian curhat terselubung “aku diem aja lho disalahin apalagi kalo ngomong”. Serba salah kan jadi “aku”? Trus aku jadi penasaran donk,  apa si A aja yang protes karena aku diliat ga pernah ngobrol sama anaknya? Atau anaknya cerita ke si A? Entah lah....mau nanya juga aku uda baper duluan. Pengen nangis di pojokan sambil manggil-manggil Ibu. Ahhh, jadi kangen rumah...rumah orang tua maksudnya. Satu lagi susahnya jadi “aku”, mau pulang ke rumah orang tua malah ga enakan, padahal ga nyampe 10 menit dari rumah suami. Aku takut diomongin kalau keseringan pulang kesana, lagi-lagi baper duluan, susah emang jdi “aku”.


Basmatika

00.37/15-06-20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel

Aku dan Sepenggal Cerita

Hati yang merindu nan rapuh Meski layar ku kembang penuh Dan jarak sudah bertahun aku tempuh Namun sauh tak kunjung berlabuh Walau angin kehilangan ritmenya Cinta, cita dan asa masih ku punya Hanya satu pinta sebelum ajal bertahta Labuhkan hatimu ke pangkuanku saja Padamu yg tiada berupa Padamu aku jatuh cinta Ku awali tulisan ini dengan sebuah puisi, puisi yang kata per katanya ku kutip dari mana-mana. Dan ini lah ceritaku:  Ini cerita tentang pengorbanan, tentang cinta, tentang keraguan dan kepastian, tentang kebimbangan dan keyakinan, tentang perasaan goyah akan sesuatu dan rasa ingin bertahan. Sebuah cerita tentang rasa kecewa dan keputusasaan, cerita tetang perubahan, cerita tentang ketakutan dan keberanian, juga tentang kerapuhan. Aku menyebut serita ini kehidupan , dengan berbagai rasa dan asa, dengan ribuan proses yang terjadi didalamnya. Ya ini adalah cerita tentang hidup, hidup ku tepatnya… Dulu aku menyebutnya pengorbanan, yang aku korbankan adalah diriku, p

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung