Langsung ke konten utama

WHAT IF.....

Tema ku untuk tulisan ini adalah perpisahan....

Kenapa? Yah...karena perpisahan itulah yang kekal
Perpisahaan mengajarkan kita tentang kehilangan, tentang penyesalan, tentang keberanian, juga tentang keikhasan. Yap, perpisahan tidak melulu tentang kehilangan, dengan drama picisan dan derai air mata. Terorinya seperti itu, namun jangan salah....praktiknya susahnya minta ampun. Aku pun akan menangis di sudut kamar, berlinang air mata, bertanya-tanya, ada ribuan "what if...." di dalam hati. Membayangkan dunia paralel dan kehidupan jika sebelumnya jalan lain yang aku pilih. "What if....", yaaaa....dengan cara itulah aku bertahan hidup dulu, hidup dalam pengandaian, berandai-anda perpisahaan itu tak pernah terjadi.



Aku tahu rasanya, ditinggalkan. Merasa sekian tahun yang terlewat adalah percuma. Aku paham rasanya ada tapi dianggap tiada, aku kenyang dengan rasa yang tidak dianggap lagi, saat ada yang baru dengan pesonanya dan yang lama ditinggalkan, tak ada cinta, tak ada kompromi, dan yaaaa,,,ujungnya adalah perpisahaan. Lelah, penat...saat itu aku sudah menyerah, aku tahu aku kalah bahkan sebelum permainan ini usai, sebelum kartu terakhir sempat aku keluarkan. Tapi nyatanya aku bertahan, meski dalam penyesalan dan ketakutan, dengan sedikit pengharapan, aku melanjutkan hidup.



Pernah aku bepikir untuk menghilang dari dunianya, berharap akan ada rasa rindu, kemudian dia mencoba mencariku. Berharap dia akan merasa kehilangan dan menyadari keberadaan ku. Hahahahahahha...sayangnya aku tidak punya cukup keberanian untuk melakukannya. Sampai saat ini dunia ku masih  berpusat padanya, aku seperti bumi dan dia adalah Sang Matahari yang menjadi pusat dari galaksi ku. 



Setelah setahun, aku sadar bahwa ego ku lah yang mengatur dan menguasai logika ku. Biar pun aku tahu perasaan suka, cinta dan benci tidak bisa dipaksakan, aku masih berusaha meyakinkan nya kalau aku masih bersedia menunggunya sampai rasa itu tumbuh lagi. Pernah aku di maki di sosial media, dikatai perempuan yang mengemis cinta pada laki-laki yang jelas-jelas tidak mencintaiku. Marah? Tentu saja, itu manusiawi. Apa yang aku lakukan pada dia yang menataiku? Tidak ada, kalau aku membalas aku tak ada beda dengannya. Aku hidup dan bertahan dengan cara ku, aku tahu konsekuensinya, apapun nanti itu adalah yang terbaik versi Tuhan untuk ku. 



Saat ini meski dunia ku masih berpusat padanya tapi aku berusaha memperluas poros ku, karena aku tahu semesta itu maha luas, ada banyak hal yang bisa aku lakukan alih-alih hanya terpaku pada what if dan sekali lagi what if. Aku memang tidak bisa menjadi seperti dia, yang kuat dan tegar, dengan segala cobaan hidup dia mampu bertahan. Aku adalah aku yang mencoba mencintai diri, mencoba menerima diri sebagai mana adanya seperti Tuhan mencintaiku. 



Yah...aku bersyukur akan adanya perpisahan yang sementara itu. Sebenarnya kalau dipikir-pikir tidak ada hal di dunia ini yang tidak layak disyukuri. Semua hal yang terjadi mengajarkan kita sesuatu, setiap orang yang kita temui dan singgah dalam hidup pun demikian. Perpisahan mungkin adalah kekal, tapi bukan itu yang menyiksa. Penyiksaan yang  sebenarnya adalalah setiap rasa yang datang dan tak ada dirimu disana. Tapi tenanglah, waktu adakah fana dan kitalah yang abadi, setidaknya menurut ku  ðŸ˜„😄




Jimbaran, 19022017



-Basmatika Awiq-


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susahnya menjadi Aku

Hah? Seriously? Hidup ku lhoo lebih berat dari kamu. Aku lho punya lebih banyak tanggungan dari kamu. Mungkin gitu kali ya pikiran kalian saat liat judul blog ku kali ini. Ga salah sih, hidup emang berat, bahkan bagi seorang Nia Ramadhani yang ga bisa ngupas salak.  Ah kamu aja yang ga bisa bersyukur, ada pula yang mungkin berpikiran seperti itu. Gapapa, itu pikiran kalian, itu pendapat kalian dan aku ga bisa larang kalian mau ngomong apa dan berpendapat kaya apa tentang aku, salah ku sih yang dikit-dikit baper, fiyuuuu.... Kenapa susah jadi “Aku”? Karena seorang “aku” ini sering kali kena komplain. Aku kasi tau yaa, masuk di lingkungan baru ga pernah mudah, bahkan bagi seorang "AKU" yang konon termasuk gampang beradaptasi. Tapi ini beda mamens, kebiasaan lama kita belum tentu bisa diterima, begitupula kebiasaan di tempat baru, belum tentu bisa kita terima dengan baik. Sebut saja si A, komplain karena aku ga pernah dilihat ngobrol sama anak nya yang lebetulan lama ting

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel