Langsung ke konten utama

Zona Waktu

Bali 1 Jam lebih awal dari Surabaya, namun tidak berarti Surabaya lambat dan Bali lebih cepat. Keduanya bekerja dengan zona waktunya masing-masing.

Seseorang yang masih sendiri dan melajang. Seseorang lainnya menikah namun menunggu belasan tahun untuk memiliki anak. Namun ada juga yang langsung punya anak setelah setahun menikah dan bahkan memiliki anak sebelum menikah.

Seseorang lulus kuliah pada usia 22 tahun, tapi harus menunggu 5 tahun untuk memperoleh pekerjaan tetap dan mapan, yang lainnya lulus di usia 27 tahun tapi langsung bekerja begitu lulus.

Seseorang  menjadi direktur diusia 30 tahun tapi meninggal di usia 60 tahun, yang lainnya menjadi direktur di usia 50 tahun dan hidup sampai usia 90 tahun.

Setiap orang bekerja dengan zona waktunya sendiri-sendiri. Seseorang bisa mencapai banyak hal dengan kecepatannya masing-masing. Bekerjalah sesuai dengan zona waktumu, tak ada yang perlu dipaksakan. Keluarga mu, teman-temanmu, kolegamu, adik kelas mu bahkan musuhmu mungkin terlihat lebih maju dan lainnya lagi terlihat masih dibelakangmu.

Setiap orang di dunia ini berlari dalam perlombaannya sendiri, di jalurnya sendiri dan dalam waktunya masing-masing. Jangan pernah merasa iri dan merasa di belakang, jangan pula mengejek mereka dan merasa lebih maju. Tuhan punya rencana berbeda untuk masing-masing orang.

Kamu, aku, dia, dan mereka juga punya zona waktu sendiri-sendiri. Kamu tidak terlambat, tidak pula lebih cepat, begitu pula dengan aku, kita semua sangat tepat waktu. Tetaplah pada jalurmu, tetaplah bersukur pada keberkahan-Nya. Tidak ada yang terlambat dan tidak ada yang terlalu awal, Kamu dan aku sudah ada di zona waktu yang tepat.


Jimbaran, 17 March 2017
-Basmatika Awiq-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel

Aku dan Sepenggal Cerita

Hati yang merindu nan rapuh Meski layar ku kembang penuh Dan jarak sudah bertahun aku tempuh Namun sauh tak kunjung berlabuh Walau angin kehilangan ritmenya Cinta, cita dan asa masih ku punya Hanya satu pinta sebelum ajal bertahta Labuhkan hatimu ke pangkuanku saja Padamu yg tiada berupa Padamu aku jatuh cinta Ku awali tulisan ini dengan sebuah puisi, puisi yang kata per katanya ku kutip dari mana-mana. Dan ini lah ceritaku:  Ini cerita tentang pengorbanan, tentang cinta, tentang keraguan dan kepastian, tentang kebimbangan dan keyakinan, tentang perasaan goyah akan sesuatu dan rasa ingin bertahan. Sebuah cerita tentang rasa kecewa dan keputusasaan, cerita tetang perubahan, cerita tentang ketakutan dan keberanian, juga tentang kerapuhan. Aku menyebut serita ini kehidupan , dengan berbagai rasa dan asa, dengan ribuan proses yang terjadi didalamnya. Ya ini adalah cerita tentang hidup, hidup ku tepatnya… Dulu aku menyebutnya pengorbanan, yang aku korbankan adalah diriku, p

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung