Langsung ke konten utama

MENIKAH (Antara Hati dan Bhakti)




Aku hidup di jaman hidup serba distandar dan semua serba terprogram. Baik buruk, benar salah semua ada standardnya, dari lahir nama, agama dan bahkah tujuan hidup sudah diarahkan. Kita diprogram untuk mengikuti aturan masyarakat yang apabila kita melanggar kita dianggap sebagai pemberontak, virus atau lebih parah lagi sampah masyarakat. Norma-norma dan hukum-hukum yang berlaku adalah standar yang harus dipatuhi, mau tidak mau, suka tidak suka.

Sebagai perempuan Bali, aku merasa banyak sekali tuntutan dan tekanan yang di hadapi. Aku diharuskan mengikuti aturan-aturan yang kadang beberapa diantaranya sudah kuno menurut ku. Bukan berarti sok modern, aku sangat bangga dengan budaya dan kearifan lokal masyarakat Bali, dengan adat dan tradisinya, dengan taksu dan keseniannya, aku bangga sekali dan aku mencintai tanah kelahiranku. Di sisi lain sebagai perempuan setengah modern (karena aku belum sepenuhnya menjadi wanita modern dan aku tidak berniat menjadi wanita modern), ada beberapa hal yang membuat ku tidak nyaman.

Di tempat asalku, desa kecil di Kabupaten Tabanan, aku tumbuh dan hidup dengan nyaman, kasih sayang dan perlakuan kedua orang tua ku terhadap aku dan kakak laki-laki ku  sama, mereka tidak pilih kasih.Cuma dalam hal warisan tentu dibedakan, berdasarkan system kekeluargaaan dan perkawinan, hampir semua wilayah Bali menganut system patrilineal, aku tidak mempermasalahkan itu. Seyogyanya, aku akan dibebaskan dari segala kewajiban ku dalam kegiatan dan upacara adat di rumah bajang (rumah tempat aku tinggal) apabila aku menikah kelak. Hanya saja di tempat ku dibenarkan tradisi "Nyentana" apabila dalam satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, pihak keluarga perempuanlah yg meminang menantu laki-laki, dan mengikuti garis keturunan perempuan. 

Sekarang masalahnya bukan karena aku harus mencari laki-laki yang mau "Nyentana", aku punya kakak laki-laki jadi aku terbebas dari itu. Hanya saja, di usia yang sekarang ini, menurut beberapa orang sudah terlalu matang dan harusnya sudah punya anak sebagai penerus. Pasalnya teman-teman seangkatan banyak yang sudah menikah dan mempunyai anak, bahkan yang umurnya jauh lebih muda pun banyak yang sudah menikah. Yang aku tidak suka dari kehidupan di tempat tinggalku adalah mereka terlalu mengurusi hidup orang lain. Aku sendiri sudah masa bodo dengan itu, tapi nyatanya tidak dengan keluargaku, pertanyaan demi pertanyaan mulai berdatangan. "Ade, kapan nikah", menjadi pertanyaan wajib saat ada acara keluarga, ada yang berpendapat aku terlalu modern dan mementingkan karier. Kalaupun benar adanya seperti itu so what?! Toh aku bisa menghidupi diri ku sendiri, aku tidak menyusahkan mereka, minta uang untuk biaya hidup juga ga pernah. To be honest, ini donk yang bikin aku malas pulang kampung. Malas ditanyai, malas memberikan jawaban, sampai aku pernah keceplosan sekali membalas dengan pertanyaan, "kalo aku nikah kamu mau nyumbang apa, mau nyumbang berapa juta?" 

Banyak yang tidak menyadari, kehidupan perempuan satu dengan lainnya bukanlah sebuah perlombaan lari. Perempuan tidak seharusnya dirundung berdasarkan sebuah pencapaian yang belum Ia raih, sementara perempuan lainnya sudah meraihnya. Setiap perempuan memiliki lini masanya sendiri2. Jika seorang perempuan menikah di umur 25, perempuan yang lain tidak mesti menikah di umur yang sama. Jika seorang perempuan sudah memiliki anak di usia 27, jangan merundung perempuan menikah jika belum memiliki keturunan di umur tersebut. Tuhan telah mengatur lini masa pada setiap perempuan. Jika perundungan terjadi pada seorang perempuan, maka perundung tersebut sesungguhnya meragukan keputusan Tuhan. Aku menghargai tiap keputusan perempuan untuk menikah pada umur ketika mereka telah siap, Aku memahami perempuan-perempuan yang telah berusaha keras memiliki keturunan dan saat ini masih mengharapkan anugerah tersebut. Setiap perempuan berhak dihormati dan dihargai apapun keputusan yang diambil dalam hidupnya serta kesulitan dan tantangan yang Ia alami. No woman becomes less woman just because she cannot fulfill the common standard.

Kita berlomba dengan diri kita sendiri, berlomba untuk menjadi diri yang lebih baik dari yang sebelumnya. Mengutip tulisan sebelumnya tentang zona waktu, kita punya zona waktu kita msing-masing, tidak ada yang terlambat, tidak ada yang lebih cepat, semua sangat tepat waktu. Tuhan punya rencana yang berbeda-beda untuk setiap makhluknya. Kalau pun pada akhirnya aku tidak menikah, itulah yang terbaik bagiku, menurut Tuhan tentunya, siapa yang berani meragukan kuasaNya?

Bagiku, menikah adalah hal yang pribadi, jalan hidup, pilihan dalam hidup yang akulah yang akan menjalaninya. Menikah bukan sekadar memiliki anak kemudian, lalu jika tak memiliki anak dianggap manusia cilaka. Menikah itu masalah hati bukan bhakti.


Terinspirasi dari Tulisan Mbok Ari DJ and Ni Putu Desi Wulandari


-Basmatika Awiq-
Denpasar, 30 October 2017

Komentar

  1. Menikahlah ketika memang sudah siap. Entah kapan pun itu. Karena membuat nyaman diri sendiri adalah hak kita. Orang lain tak pernah benar-benar mengenal kita. Dan tak seorangpun akan bertanggung jawab akan kegagalan yang kita hadapi jika mengikuti kata-kata mereka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, tidak ada yg memikirkan itu. Seolah bentuk perhatihan hanya bertanya "kapan kamu nikah?", "sudah hamil?" atau "ga mau nambah momongan?". Padahal mereka tau, nyatanya menikah tidak seserhana itu.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susahnya menjadi Aku

Hah? Seriously? Hidup ku lhoo lebih berat dari kamu. Aku lho punya lebih banyak tanggungan dari kamu. Mungkin gitu kali ya pikiran kalian saat liat judul blog ku kali ini. Ga salah sih, hidup emang berat, bahkan bagi seorang Nia Ramadhani yang ga bisa ngupas salak.  Ah kamu aja yang ga bisa bersyukur, ada pula yang mungkin berpikiran seperti itu. Gapapa, itu pikiran kalian, itu pendapat kalian dan aku ga bisa larang kalian mau ngomong apa dan berpendapat kaya apa tentang aku, salah ku sih yang dikit-dikit baper, fiyuuuu.... Kenapa susah jadi “Aku”? Karena seorang “aku” ini sering kali kena komplain. Aku kasi tau yaa, masuk di lingkungan baru ga pernah mudah, bahkan bagi seorang "AKU" yang konon termasuk gampang beradaptasi. Tapi ini beda mamens, kebiasaan lama kita belum tentu bisa diterima, begitupula kebiasaan di tempat baru, belum tentu bisa kita terima dengan baik. Sebut saja si A, komplain karena aku ga pernah dilihat ngobrol sama anak nya yang lebetulan lama ting

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel