Langsung ke konten utama

D.U.A.L.I.S.M.E

Cinta, benci
Marah, sayang
Bahagia, menderita
Baik, buruk
Berhasil, gagal
Positif, negatif
Dualisme.....

Hidup memang seperti itu, aku penah gagal sehingga tau betapa bahagianya saat berhasil dalam suatu hal. Aku pernah jatuh cinta dan merasa betapa sakitnya patah hati itu. Aku pernah sangat marah namun reda oleh kasih sayang. Hanya saja baik dan buruk itu yang relatif demikian juga positif dan negatif.

Aku belajar mengontrol pikiran ku untuk selalu positif, namun ada banyak distraction yang bikin aku kembali negatif dan pesimis. Aku berusaha membuat semesta menerima energi postif dari pikiran-pikiran ku, tapi ternyata tak semudah itu. aku masih  sering mempertanyakan hal-hal buruk yang aku terima, pertanyaan "kenapa harus aku?". Dan aku sadar aku tak pernah bertanya pada semesta saat aku bahagia, Aku mulai belajar menerima, belajar melepaskan diri dari ekspektasi yang mengungkung. Aku belajar menerima orang datang dan pergi dalam hidup ku karena memang harus seperti itu, ada yg datang hanya untuk singgah, ada yang datang memang untuk menetap. Mengajarkan ku pada sesuatu, memberiku dualisme itu. Merasa sedih, marah, sakit hati, kecewa, bahagia, ya... mereka datang mengajarkan ku menerima dan merasakan itu semua.

Aku merasakan dan mengalami dualisme itu untuk membentuk aku sekarang ini, tentunya ke arah yang lebih baik. Aku pernah jatuh, terpuruk, merasa tidak dicintai, tidak dianggap, dan tidak diharapkan. Merasa keberadaan ku hanyalah beban, aku lupa cara mencintai diri ku sendiri, aku berfocus mencoba mencintai orang lain dan mengesampingkan diri ku dan berharap dia juga mencintaiku. Nyatanya tidak demikian, bukan aku yang dia mau, apa aku sedih? tentu saja. Kecewa? Jelass. Akhirnya, aku kehilangan diriku, aku harus memakai topeng, topeng berbeda sesuai peran yang aku mainkan, peran sebagai seorang anak, adik dan bagian dari keluarga, topeng saat aku berperan sebagai pacar, peran sebagai karyawan bagi perusahaan tempatku bekerja. Itu sangat melelahkan sehingga aku memutuskan untuk menjadi aku yang sebenarnya.

Aku akui kalau sampai hari ini aku masih butuh pengakuan. Pengakuan akan keberadaan ku, pengakuan bahwa aku dicintai dan diinginkan juga pengakuan akan prestasi ku tentu saja. Salahkah perasaan itu? Belakangan ini aku merasa insecure, berbagai macam pertanyaan mucul dan terus menghantui. Aku beropini, berspekulasi, berasumsi dengan jawaban-jawaban dari jawaban yang aku inginkan sampai kemungkinan yang terburuk. Aku bertanya apakah aku dicintai? Apakah aku diinginkan? Apakah aku pantas?


Adakah jawaban dari pertayaan itu? Haruskah terjawab? Masih bingung makin bingung.


Sudahlah, 15 menit lagi sudah jam pulang. Sampai disini dulu, aku lelah.


-Basmatika Awiq-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susahnya menjadi Aku

Hah? Seriously? Hidup ku lhoo lebih berat dari kamu. Aku lho punya lebih banyak tanggungan dari kamu. Mungkin gitu kali ya pikiran kalian saat liat judul blog ku kali ini. Ga salah sih, hidup emang berat, bahkan bagi seorang Nia Ramadhani yang ga bisa ngupas salak.  Ah kamu aja yang ga bisa bersyukur, ada pula yang mungkin berpikiran seperti itu. Gapapa, itu pikiran kalian, itu pendapat kalian dan aku ga bisa larang kalian mau ngomong apa dan berpendapat kaya apa tentang aku, salah ku sih yang dikit-dikit baper, fiyuuuu.... Kenapa susah jadi “Aku”? Karena seorang “aku” ini sering kali kena komplain. Aku kasi tau yaa, masuk di lingkungan baru ga pernah mudah, bahkan bagi seorang "AKU" yang konon termasuk gampang beradaptasi. Tapi ini beda mamens, kebiasaan lama kita belum tentu bisa diterima, begitupula kebiasaan di tempat baru, belum tentu bisa kita terima dengan baik. Sebut saja si A, komplain karena aku ga pernah dilihat ngobrol sama anak nya yang lebetulan lama ting

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel