Langsung ke konten utama

Basa-Basi Super Basi, masih Jamankah?

Aku, Dwi Aprini
Perempuan
Umur 29 tahun 11 bulan, bulan depan uda 30 tahun
Sudah Menikah....


Ya, akhirnya selama hampir 12 tahun luntang-lantung dan hampir aja cuma jadi penjaga jodoh orang aku nikah juga. Hahahahahahahha.... 😂😂
Iya, aku ga boong, aku hampir jagain jodoh orang lhooo, dan berkat Tuhan melalui semestanya, dia jadi jodoh ku, yeyyyyyyyyyy

Kemudian, setelah terbebas dari pertanyaan menjengkalkan seputaran kapan nikah, ingat umur (helllowww, kenapa emangnya sama umur?!) dan jangan keasikan nyari duit (ini juga gue nyari buat modal nikah, yang akhirnya aku balik tanya "kamu mau nyumbang berapa nanti di nikahanku? mampus). Kini aku dapet pertanyaan baru yang ga kalah nyebelinnya dari "kapan nikah?". Yayayayaya, pertanyaan itu adalah "uda hamil?", pertanyaan simple yang kalau ga dijawab ga sopan katanya apalagi yang nanya orang yang lebih tua. So dari jawab masih belum sambil mesem-mesem berharap mereka ngerti kalo itu ga sopan sampe ke tahap mau cuek tapi ga bisa. Dan parahnya lagi dari jawaban "belum", ga lupa pake senyum palsu nan manis, berkembanglah pertanyaan baru "kok, belum sih? uda ke dokter? apa harus dibantu? (what the h*ll?!!), cepetin donk, si ini aja uda padahal nikahnya belakangan!" Gimana ya? Pertanyaan basa basi super basi yang kayanya biasa banget ditanyain. Ga intermediate family ntah tetangga, ntah temennya temennya temennya si tetangga. Bagi  mereka mungkin itu merupakan suatu bentuk perhatian. Nah, kalo mau perhatian kenapa ga sekalian nanya tagihan bulanan dan inisiatif bantu bayarin? Kan lebih berfaedah ya, gemes deh.

Netijen di negara berflower kata anak jaman sekarang, mungkin harus diedukasi lagi untuk menyampaikan bentuk perhatian yang baik dan benar. Kita ga tau seberapa keras usaha pasangan itu untuk memperoleh anak, seberapa besar materi yang bereka keluarkan, tolonglah jangan tambah beban mental mereka dengan pertanyaan-pertanyaan basi itu. Susahkan untuk berempati, cukup nanya kabar, okelah nanya kerjaan masih wajar sih ya, atau lebih yahud lg kalo nanya “kamu perlu duit ga? Nih aku lagi banyak rejeki minta no rekening donk, aku transfer” kan asik yaa 😎 Siapa sih pasangan yang ga ingin punya anak? kalaupun ada kayanya ga lebih dr 10% deh. Bukankan salah satu tujuan menikah adalah untuk mendapatkan keturunan? Ya selain untuk memenuhi beberapa part dari 5 kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow, aku ga nyebutin disini ya, kalian bisa gugel sendiri apa aja 5 hal itu menurut teorinya Maslow.

Makin kesini aku makin merasa jadi perempuan itu berat. Di Bali apalagi, belum ngurusin rumah, kerjaan (bagi yang bekerja), ditambah lagi "ngayah di banjar". Kadang suka bingung atur waktu sih, sukurnya ga sering-sering banget ngayah banjar, tapi kalo uda musimnya, bheeee....ingin kali aku bisa kagebunshin no jutsu-nya Naruto. Salut sih sama mamak-mamak setrong di luar sana, baik perempuan bekerja maupun Ibu rumah tangga, kalian luar biasa, peluk cium dan sungkem dari aku yang newbie ini. 

Buat yang nanya "gimana sih rasanya nikah setelah 11 tahun lebih pacaran?" Jawaban ku sih "B", Biasa aja? Kagaaaa.... BERAT, hahahahhaha
Yang belum siap pikir-pikir dulu deh, banyak hal yang beda sebelum dan setelah menikah. Kalo kalian nanya aku nyesel ga sih uda nikah? Jawaban ku, sama sekali ngga, aku bahagia dengan pilihannku dan aku bertanggung jawab penuh atas pilihan dan kebahagianku. Dan bagi kalian yang sudah dan akan menikah, ingat itu pilihan kalian, jangan pernah nyesel ya. Ngeluh dikit-dikit boleh, mau sama suami sama teman, jangan aja di sosmed, kalian tau kan netijen nyirnyirnya ngalahin pedesnya Carolina Reaper.


Baiklah, uda jam tidur nih,  ayo tidur dulu biar besok kuat ngadepin basa basi super basi dari netijen, byeee


Basmatika
- 21 March 2019-


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susahnya menjadi Aku

Hah? Seriously? Hidup ku lhoo lebih berat dari kamu. Aku lho punya lebih banyak tanggungan dari kamu. Mungkin gitu kali ya pikiran kalian saat liat judul blog ku kali ini. Ga salah sih, hidup emang berat, bahkan bagi seorang Nia Ramadhani yang ga bisa ngupas salak.  Ah kamu aja yang ga bisa bersyukur, ada pula yang mungkin berpikiran seperti itu. Gapapa, itu pikiran kalian, itu pendapat kalian dan aku ga bisa larang kalian mau ngomong apa dan berpendapat kaya apa tentang aku, salah ku sih yang dikit-dikit baper, fiyuuuu.... Kenapa susah jadi “Aku”? Karena seorang “aku” ini sering kali kena komplain. Aku kasi tau yaa, masuk di lingkungan baru ga pernah mudah, bahkan bagi seorang "AKU" yang konon termasuk gampang beradaptasi. Tapi ini beda mamens, kebiasaan lama kita belum tentu bisa diterima, begitupula kebiasaan di tempat baru, belum tentu bisa kita terima dengan baik. Sebut saja si A, komplain karena aku ga pernah dilihat ngobrol sama anak nya yang lebetulan lama ting

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel