Malam itu, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel ku, isinya nyuruh nyari pisang batu untuk "loloh", semacam jamu agar bisa punya anak. Heran, aneh, agak kesal, bukan....sangat kesal tepatnya. Apa sih ini? Kenapa pula harus pisang? Kenapa ga buah lain aja gitu? Mangga misalnya, atau manggis yang bisa membawa kabar gembira karena kini kulitnya sudah ada extraknya?! Dan ini bukan yang pertama, tahun lalu juga pernah, beberapa bulan lalu juga pernah.
Belum lagi berbagai ritual yang harus dijalani, ternyata bereproduksi tak hanya melibatkan organ reproduksi pria dan wanita, tapi juga ritual-ritual panjang nan melelahkan. Harus ini harus begitu, rasanya ingin sekali bilang, setelah aku punya anak, maukah mereka ikut berpartisipasi dalam keuangan untuk biaya hidup dan pendidikan anak ku? Atau biaya pas hamil, ngidam dan lahiran deh, beliin diapers, susu dan tetek bengek lainnya? Atau cuma bisanya nyuruh" aja? Cuma nyirnyir aja?
Kenapa mereka tidak menghargai privasi kami sebagai pasangan, sebagai anak, sebagai menantu, adik, ipar, sebagai manusia? Sadarkah mereka kalau memutuskan punya anak itu adalah keputusan besar? Anak tidak pernah minta dilahirkan ke dunia ini, kita yang mengharapkannya, jadi sejatinya kita punya tanggung jawab yang sangat besar untuk memberinya kehidupan yang baik. Tidak hanya dilahirkan dan biarkan dia hidup seadanya.
Kemarin, aku menerima pesan lagi, aku diminta datang ke rumah kakak iparku, katanya ada seseorang yang mau bicara sama aku, sebut saja namanya Ibu Jero. Aku mengenal orang tersebut, dan tiba-tiba aku merasa insecure. Pesannya tidak kubalas, aku tidak mngiyakan tidak pula menolak. Tapi begitu tau suamiku juga diminta kesana aku merasa sedikit lega, ya sedikit, cuma sedikit lega. Mood ku langsung ambyar, yang aku inginkan hanya pulang dan meringkuk di balik selimut.
Malamnya mau ga mau aku kesana. Sampai disana aku tidak bicara apa-apa, aku ingin pulang, aku merasa tidak nyaman, ya, aku muak. Katanya aku mau dipijit. Suamiku langsung menatapku iba, aku bilang ga mau, hampir menangis. Ibu Jero pun datang, beliau bercerita panjang kali lebar kali tinggi tentang beberapa pasiennya, tentang perjuangan mereka untuk bisa punya anak, bla bla, aku tidak sepenuhnya mendengarkan, aku merasa tidak nyaman, aku menahan tangis, aku ingin pulang.
Beberapa kalimat yang aku tangkap adalah suami dari iparku bilang salah satu penyebab kami belum punya anak mungkin karena psikologis. Dia bilang mungkin saja sebenarnya aku tertekan dengan tuntutan keluarga tapi aku tidak pernah bilang. Aku diminta bicara tapi aku diam saja. Suami ku bilang kalau sebenarnya dia belum siap punya anak karena kami belum punya rumah dan lingkungan tempat tinggal kami saat ini sangat tidak mendukung untuk merawat bayi, namun kalau memang Tuhan berkehendak dia juga tidak menolak. Sampai saat Ibu Jero minta persetujuanku untuk "diperiksa" dan saat itu aku bilang tidak, ya aku menolak. Pertama kali bicara sejak datang yang keluar dari mulutku adalah penolakan. Suami ku terlihat agak kecewa saat aku akhirnya bilang "kenapa aku harus mau? kenapa aku tidak punya otoritas atas tubuhku sendiri?"
Aku diminta bicara dan aku menyesalinya. Harusnya aku diam, seperti yang sebelumnya aku lakukan. Seharusnya aku manut, seperti yang mereka-mereka inginkan. Mungkin seharusnya aku tidak merasa tertekan, mungkin sebaiknya aku tidak merasa dipojokkan saat mertua ku bilang beberapa hal ini "kenapa belum hamil? harusnya kalau dilihat keluarga kami, Biang bersaudara banyak, Ajik juga bersaudara banyak, dan kakak-kakak suami mu juga cepat hamil, kenapa?" Aku merasa itu semacam tuduhan, aku merasa aku dipojokkan, seakan-akan masalah ada di aku, di keluarga ku. Kami memang keluarga kecil, Bapak cuma 2 bersaudara, Ibu 4 bersaudara. Ipar-iparku memang cepat hamil, tapi kenapa kami dibandingkan? Aku tak suka. Kadang aku marah, ingin sekali bilang kalau ada salah satu saudaranya Biang yang ga punya anak, tapi aku memilih diam.
Sepertinya diam akan menjadi pilihan ku. Kenapa? Karena sebagian besar dari mereka akan berdalih tidak bermaksud apa-apa, hanya sekedar bertanya, atau bilang karena meraka perhatian dan ingin yang terbaik buat kami. Benarkah? benarkah mereka tau apa yang terbaik untuk hidup kami? Atau itu yang terbaik untuk mereka? Agar mereka ga pusing ditanyain tetangga? Kalau mereka benar-benar perhatian harusnya mereka bisa diam, mendukung dalam diam, atau bantu menjawab pertanyan-pertanyaan orang seputar kenapa kami belum punya anak. ataupun mendoakan kami, bukan malah bertanya tiap kali bertemu yang membuat aku merasa terbebabi dan tambah tertekan. Namun biarlah semua perasaan tertekan itu aku telan, aku pendam sendiri, semampuku. Biarlah rasa itu luruh bersama air mata. Aku tahu aku hanya punya diriku sendiri.
Tapi kalau kalian ingin aku biacara. Ingin aku jujur?. Aku muak ditanya terus, aku muak ditekan terus, aku muak dibanding-bandingkan. Aku muak harus berjuang menata perasaanku sendiri, berjuang untuk tidak merasa tersinggung, berjuang untuk tidak membantah. AKU MUAK!!!
Basmatika
290520
Komentar
Posting Komentar