Langsung ke konten utama

Hutang Budi dan Balas-Membalas

Pepatah “Hutang budi dibawa mati” sering terngiang-ngiang di kepalaku. Banyak sekali orang-orang yang berjasa padaku tapi tidak/ belum bisa kubalas jasanya. Jadi merasa bersalah...

Aku pernah denger seorang ibu bilang gini “ini oleh-oleh untuk si A, mumpung abis panen, saya kasi beras. Biar nanti anak saya di jagain, dikasi kerjaan juga."
Seorang pernah teman bercerita, “Bunga (bukan nama sebenarnya) bisa kerja disana itu karena rekomendasi ku, kalau bukan karena aku ga mungkin dia keterima. Setelah dia naik jabatan, ga sekali pun dia mau nongkrong bareng aku. Bunga malah lebih suka nongkrong sama koleganya, nraktir mereka makan. Padahal kan jasa orang yang nyariin pekerjaan jauh lebih besar daripada ajakan nongkrong teman-teman barunya. Dulu teman-temannya itu ga dekat, ga nolong si Bunga saat dia butuh pertolongan. Si Bunga tuh lupa diri karena senang bisa diterima bergaul dengan orang-orang gaul.”
Banyak sekali cerita tentang orang yang ga tahu berterimakasih, ga tahu balas budi. Apakah setiap tindakan balas budi itu satu tindakan mulia?
Tentu sangat mulia bila bisa membalas utang budi. Namun terkadang membalas utang budi adalah satu dilema. Misalnya ketika orang (yang berjasa) meminta bantuan yang menyalahi prinsip kemanusiaan. Misalnya, seseorang yang berjasa meminta agar anaknya yang melakukan tabrak lari agar dibebaskan dan tidak diadili. Bagaimana bila orang, yang berwenang memberi keputusan, berutang budi pada ayah si anak. Tidak mudah untuk bersikap adil, mengutamakan kepentingan orang banyak, bila berhadapan dengan orang yang telah berjasa pada dirinya.
Menurutku nih ya, berbuat baik ke orang, nolong orang itu ya karena itu pedoman hidup, uda prinsip, uda seharusnya, bukan karena biar orang merasa berhutang trus jadi ga enakan sama kita trus ngarepin balasan. Lagian kalo kita berbuat baik pada seseorang, mungkin orang itu ga bisa membalas, namun Tuhan akan membalas kita lewat cara lain atau melalui orang lain, aku pernah nonton videonya di Facebook, cuma ga nemu linknya.. Demikian juga orang yang uda berjasa pada kita. Tuhan pasti membalas kebaikan dia. Kita ga perlu merasa terbebani dengan utang budi kita. Walau sepatutnya kita berterima-kasih pada siapapun yang berjasa pada kita. Jadi, misal kita ingin berbuat baik kepada orang lain, pastikan bahwa itu didasari atas prinsip diri sendiri, bukan merupakan paksaan atau sebuah tekanan dari lingkungan atau orang lain.

Buatku pribadi, memberi dan menerima sebagai perbuatan baik bukan dimaksudkan untuk berlangsung secara berbalas-balasan. Tidak ada seorang pun yang mampu membalas suatu kebaikan secara setimpal. Kalau itu terjadi, dunia juga malah akan jadi aneh. Apalagi kalau kita berbuat baik kepada orang, kita mengharapkan mereka berbuat baik kembali kepada kita. Bahkan tidak hanya ‘baik’ saja, tetapi ‘baik’ yang sesuai standar yang telah kita berikan. Apabila orang tidak berbuat sebaik yang kita harapkan (atau malah berbuat buruk kepada kita), kita akan kecewa dan berhenti berbuat baik kepada mereka. Bahkan, kadang kita membalas perbuatan buruk mereka dengan ‘level’ yang serupa seperti yang mereka berikan kepada kita. Kalau gitu mending ga usah nolong kalo ujung-ujungnya pamrih.

Karena itu, marilah kita saling memberi dan saling menerima, untuk mekar semekar-mekarnya, menjadi manusia semanusia-manusiannya.

Sebaliknya, apabila orang berbuat baik atau buruk kepada kita, langkah kita untuk meresponnya seharusnya tidak bergantung kepada orang-orang tersebut, tetapi kepada kita sendiri. Sesorang pernah bilang gini ke aku "cara kita merespon sesuatu itu mencerminkan kualitas diri kita". Jadi itu pilihan kita sendiri, apabila seseorang baik (nolong) pada kita, kita akan balas budi apa ga, dan kalo orang yg uda pernah kita tolong malah jahat sama kita, pilihan kita juga mau terus baik, berhenti berbuat baik atau balik jahatin sesuai level jahat yang kalian rasain. Kalo kalian pilih mana? 





27-08-20
-Basmatika Awiq-


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel

Aku dan Sepenggal Cerita

Hati yang merindu nan rapuh Meski layar ku kembang penuh Dan jarak sudah bertahun aku tempuh Namun sauh tak kunjung berlabuh Walau angin kehilangan ritmenya Cinta, cita dan asa masih ku punya Hanya satu pinta sebelum ajal bertahta Labuhkan hatimu ke pangkuanku saja Padamu yg tiada berupa Padamu aku jatuh cinta Ku awali tulisan ini dengan sebuah puisi, puisi yang kata per katanya ku kutip dari mana-mana. Dan ini lah ceritaku:  Ini cerita tentang pengorbanan, tentang cinta, tentang keraguan dan kepastian, tentang kebimbangan dan keyakinan, tentang perasaan goyah akan sesuatu dan rasa ingin bertahan. Sebuah cerita tentang rasa kecewa dan keputusasaan, cerita tetang perubahan, cerita tentang ketakutan dan keberanian, juga tentang kerapuhan. Aku menyebut serita ini kehidupan , dengan berbagai rasa dan asa, dengan ribuan proses yang terjadi didalamnya. Ya ini adalah cerita tentang hidup, hidup ku tepatnya… Dulu aku menyebutnya pengorbanan, yang aku korbankan adalah diriku, p

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung