Langsung ke konten utama

Satu di antara Dua

 Memilih tidak pernah mudah, bahkan untuk orang paling pintar sekalipun.

Katamu mungkin aku terlalu nyaman dengan diriku, atau aku terlalu terbiasa dengan kita saja, kamu dan aku. Kamu mempertanyakan sesungguhanku, keseriusanku, keinginanku. Ringan sekali kata-kata itu mengalir darimu, tajam menusuk ku. Keraguanmu akan kesungguhan ku, kamu ga tau kan kalau itu menusuk ku pelan-pelan. Bagimu usaha ku tidak sekeras kamu, aku tidak serius. Mungkin takut ku tak tampak, rasa takut ku lihai aku sembunyikan. Kalau untuk masalah yang satu itu, aku selalu memilih diam.

Hanya saja , sepertinya diamnya aku terlihat seperti ketidakseriusan. Jujur, aku lelah dengan pertanyaan - pertanyaan, kapan? Kok belum? uda ke dokter? Uda berobat kemana aja? Sabar, bla bla bla bla. Sampai kata-kata yang terkesan memojokkan dan menuduh. Siapa pihak yang terpojok dan tertuduh? Aku, ya AKU, siapa lagi? Terkadang ucapan mereka seperti menyalahkan ku. Bilang aja aku baper? Siapa yang ga baper terus-terusan dicekoki kata-kata dan pertanyaan seputar kapan punya anak? Siapa yang ga pengen nangis, karena bahkan suami sendiri seakan ga mensupport aku? 

Belum lagi intervensi dari mana-mana, tiba-tiba yang harus minum ramuan-ramuan aneh, tiba-tiba dipanngil trus katanya mau ngomong sesuatu, eh taunya mau dipijit. Kesel, jelas! Marah, hampir! Ga suka sama caranya? TENTU SAJA!!! Seakan-akan berhasil bikin aku hamil itu adalah pencapaian besar buat mereka. Oh, jangan harap, aku ga suka merasa berhutang, aku ga mau dibayangi dan dihantui perasaan berhutang seumur-hidup, diungkit-ungkit kalau aku bisa hamil atas bantuannya. No, aku ga mau seperti itu.

Aku bingung mau cerita ke siapa. Aku takut saat HSG, hasilnya ga bagus dan aku disalahin, aku takut tiap kali ke dokter hasilnya gimana, aku takut aku yang kenapa-napa dan disalahin. Terlebih lagi aku amat sangat takut sejarah terulang kembali. Aku takut punya anak tapi harus kehilangan suami. Aku ga mau kaya gitu, aku ga mau benci sama anakku nanti, mengganggap kehadirannya dia yang buat kamu harus pergi. Itu ketakutan terbesar ku saat ini. Kalau aku cerita ini, aku pasti dianggap terlalu berlebihan. Bagi mereka-mereka punya penerus adalah suatu keharusan, tapi tidak buatku kalau itu bisa membuatku kehilanganmu!! 

Basmatika

26/01/2021



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susahnya menjadi Aku

Hah? Seriously? Hidup ku lhoo lebih berat dari kamu. Aku lho punya lebih banyak tanggungan dari kamu. Mungkin gitu kali ya pikiran kalian saat liat judul blog ku kali ini. Ga salah sih, hidup emang berat, bahkan bagi seorang Nia Ramadhani yang ga bisa ngupas salak.  Ah kamu aja yang ga bisa bersyukur, ada pula yang mungkin berpikiran seperti itu. Gapapa, itu pikiran kalian, itu pendapat kalian dan aku ga bisa larang kalian mau ngomong apa dan berpendapat kaya apa tentang aku, salah ku sih yang dikit-dikit baper, fiyuuuu.... Kenapa susah jadi “Aku”? Karena seorang “aku” ini sering kali kena komplain. Aku kasi tau yaa, masuk di lingkungan baru ga pernah mudah, bahkan bagi seorang "AKU" yang konon termasuk gampang beradaptasi. Tapi ini beda mamens, kebiasaan lama kita belum tentu bisa diterima, begitupula kebiasaan di tempat baru, belum tentu bisa kita terima dengan baik. Sebut saja si A, komplain karena aku ga pernah dilihat ngobrol sama anak nya yang lebetulan lama ting

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel