Langsung ke konten utama

Tentang Aku, Kamu dan Dia

Ya, mungkin dulu aku memang berharap bisa seperti “dia”, ingin punya apa yang dia punya, ingin bisa apa yang dia bisa, aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku ingin akrab dengannya, ingin lebih mengenalnya, terdengar wajar sepertinya bila hal itu tidak dibarengin dengan rasa iri yang kadang aku takut berubah menjadi benci, merasa terobsesi dan terus membandingkan diri dengannya. Aku yang selalu merasa dia lebih beruntung, lebih pintar, lebih menarik, lebih cantik, lebih tinggi dan proporsional, dan lebih awet muda walau umurnya jauh diatasaku, sedangkan aku? Aku kebalikan dari semua definisiku tentangnya, setidaknya itu menurutku. Walau banyak yang menghiburku, mengatakan aku juga menarik, aku ramah, kehidupan social ku bagus, aku bisa beradaptasi dan aku dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang menerimaku apa-adanya.
Tapi sebagai manusia normal yang mempunyai kecenderungan sangat memperhatikan pandangan social tentang diri kita, aku terlalu memikirkan pendapat orang lain tentang diriku, sehingga membuatku terkadang melihat sesuatu dengan standar yang dibuat oleh orang lain, dan menurutku aku berada di bawah standar itu sedangkan dia, wow aku mengolongkannya di atas standar. Apa itu berarti aku tidak mencintai diriku? Kemungkinan iya, tapi sebenarnya tidak juga. Terkadang aku bangga pada diriku saat aku berhasil mencapai sesuatu, aku juga bisa merasa nyaman akan apa yang ku punya dan di waktu yang sama aku juga membenci apa yang ada pada diriku, ada yang bisa memdefinisikan perasaan itu?
Sekeras apapun aku berusaha aku tidak mungkin bisa seperti dia, berusaha seperti dia berarti menjadi orang lain dan meninggalkan diriku, menanggalkan semua sikap yang menjadi karakterku, sifat – sifat unik yang menjadi cirri khas ku, lalu saat aku benar-benar seperti dia, apa meraka akan mengenaliku sebagai dia atau diriku? Seorang teman pernah berkata “Dont be so fool...you must become better than her, so stupid if you want like her... are you know that she wants to be like you??” saat pertama kali aku membasa kalimat itu aku ingin tertawa, benarkah? Helhooo, apa sih yang bisa dibanggakan dari seorang “aku”? teman, tahukah dirimu, terkadang kata-katamu itu terdengar konyol, tapi anehnya kata-kata itu berhasil membuatku tersenyum dan berusaha menghargai apa yang aku punya.

Saat aku bertanya-tanya apa yang aku punya sedangkan dia tak punya, baru sekarang aku mendapatkan jawabannya. Kalau dilihat dari sudut lain, hidupnya mungkin terlihat bahagia, dia punya banyak teman, tapi punyakah dia seorang sahabat yang selalu siap direcoki curhatan konyol? Aku punya pacar yang selalu mendukungku, memotivasi (walau lebih banyak gagal >.
Tapi sekarang, aku dikelilingi orang-orang yang aku percaya mereka menerimaku di tengah-tengah mereka, menerimaku menjadi bagian dari mereka. Aku bisa dengan tegas mengatakan “suka” bila aku menyukainyanya dan berkata “tidak” bila aku tidak menyukainya. Aku tidak pernah gengsi meminta bantuan manakala ada hal yang tidak bisa ku kerjakan sendiri, bukan berarti tidak  mandiri (walau kepepet aku bisa lebih mandiri dari yang mereka pernah tahu).

“Dia” yang sekarang, aku benar-benar tak mau hidup seperti itu, kadang terlihat terlalu bergantung sampai susah melepaskan diri, tapi tetap ingin terlihat mandiri. Aku tidak mau hidup dibawah tertekan seperti itu, seakan – akan kebebasanku dirampas, seakan-akan aku tidak punya hak, seakan-akan aku tidak mampu. Tidak!!! Aku tidak mau seperti itu. Aku yang sekarang merasa labih hidup, lebih bahagia, dan lebih beruntung dari dia. Jangan salah mengartikan tulisanku ini, ini tidak berarti aku membencinya, tidak berarti aku menyumpahinya, tidak, bukan seperti itu. Aku tetap meghargainya, tetap menghormatinya, hanya saja aq merasa bahagia bias sedikit terlepas dari obsesi gila yang menghantuiku selama 8tahun ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dimatamu (keluhan terselubung)

 Aku aneh Aku kekanakan Aku “ngrenyed” Aku cengeng Ntah apa lagi aku dimatamu. Sepertinya memang tidak pernah baik. Kalau aku menunjukkan rasa kesalku, atau saat aku bilang aku sedih karena sikapmu, kamu akan bilang aku “ngrenyed” (mungkin mirip dengan lebay kalau di-Indonesiakan), seperti hari ini. Kamu memang tidak bilang langsung, tapi ntah kenapa aku bisa mendengarnya, meski tidak ada suara, tp jelas terdengar saat kamu menatap ku. Saat itu aku berpikir, apa sebaiknya aku usah menunjukkan rasa kesal ku, ga boleh bilang kalau lagi marah, atau lagi sedih. Atau mungkin aku tidak boleh merasa kesal, marah dan sedih?  Reaksi ku tadi mungkin berlebihan menurutmu. Tapi aku tiba-tiba merasa kesal, marah dan berakhir sedih saat tau kamu pergi jalan-jalan jauh tanpa aku. Ya TANPA AKU Aku merasa tersingkirkan, ga dianggap. Ngasi tau bakal pergi aja ngga, sama siapa aja ngga, tau-tau di tag sm ponakan kalo kalian lagi jalan-jalan. Hal yang belum tentu setahun sekali aku alami. Rasa-rasanya sel

Aku dan Sepenggal Cerita

Hati yang merindu nan rapuh Meski layar ku kembang penuh Dan jarak sudah bertahun aku tempuh Namun sauh tak kunjung berlabuh Walau angin kehilangan ritmenya Cinta, cita dan asa masih ku punya Hanya satu pinta sebelum ajal bertahta Labuhkan hatimu ke pangkuanku saja Padamu yg tiada berupa Padamu aku jatuh cinta Ku awali tulisan ini dengan sebuah puisi, puisi yang kata per katanya ku kutip dari mana-mana. Dan ini lah ceritaku:  Ini cerita tentang pengorbanan, tentang cinta, tentang keraguan dan kepastian, tentang kebimbangan dan keyakinan, tentang perasaan goyah akan sesuatu dan rasa ingin bertahan. Sebuah cerita tentang rasa kecewa dan keputusasaan, cerita tetang perubahan, cerita tentang ketakutan dan keberanian, juga tentang kerapuhan. Aku menyebut serita ini kehidupan , dengan berbagai rasa dan asa, dengan ribuan proses yang terjadi didalamnya. Ya ini adalah cerita tentang hidup, hidup ku tepatnya… Dulu aku menyebutnya pengorbanan, yang aku korbankan adalah diriku, p

Kematian adalah Perayaan

 Saat aku bilang 34 tahun sudah lama, aku ga bercanda. Hidup selama 34 tahun rasanya sudah lebih dari cukup, untuk apa berlama-lama?  Katamu tanggung jawab itu memang berat, katamu aku belum mencoba semua hal, katamu aku belum terlalu berusaha. Tapi kataku sudah cukup, kataku aku lelah, kataku tidak ada lagi yang mau aku coba, kataku aku sudah siap. Tidak bolehkah merasa jenuh? Lemahkah kalau aku ingin berhenti? Berdosakah aku kalo aku merasa sedih? Terkadang aku merasa tidak punya sandaran, aku bingung harus cerita ke siapa. Aku takut, saat aku mengeluh bukan pelukan yang aku dapat, aku cemas saat aku bercerita bukan dukungan yang aku dapat. Aku sesalu overthingking akan setiap reaksimu, menebak-nebak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mu, apakan kata-kata pedas atau penghiburan. Aku merasa sendirian, kata pulang semakin terasa ambigu. Dulu pulang adalah ke rumah orang tua ku, skarang aku merasa sudah bukan bagian dari mereka lagi, tidak pula menjadi bagian utuh dari kalian.  Mung