Ya, mungkin dulu aku memang berharap bisa seperti “dia”, ingin punya apa yang dia punya, ingin bisa apa yang dia bisa, aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku ingin akrab dengannya, ingin lebih mengenalnya, terdengar wajar sepertinya bila hal itu tidak dibarengin dengan rasa iri yang kadang aku takut berubah menjadi benci, merasa terobsesi dan terus membandingkan diri dengannya. Aku yang selalu merasa dia lebih beruntung, lebih pintar, lebih menarik, lebih cantik, lebih tinggi dan proporsional, dan lebih awet muda walau umurnya jauh diatasaku, sedangkan aku? Aku kebalikan dari semua definisiku tentangnya, setidaknya itu menurutku. Walau banyak yang menghiburku, mengatakan aku juga menarik, aku ramah, kehidupan social ku bagus, aku bisa beradaptasi dan aku dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang menerimaku apa-adanya.
Tapi sebagai manusia normal yang mempunyai kecenderungan sangat memperhatikan pandangan social tentang diri kita, aku terlalu memikirkan pendapat orang lain tentang diriku, sehingga membuatku terkadang melihat sesuatu dengan standar yang dibuat oleh orang lain, dan menurutku aku berada di bawah standar itu sedangkan dia, wow aku mengolongkannya di atas standar. Apa itu berarti aku tidak mencintai diriku? Kemungkinan iya, tapi sebenarnya tidak juga. Terkadang aku bangga pada diriku saat aku berhasil mencapai sesuatu, aku juga bisa merasa nyaman akan apa yang ku punya dan di waktu yang sama aku juga membenci apa yang ada pada diriku, ada yang bisa memdefinisikan perasaan itu?
Sekeras apapun aku berusaha aku tidak mungkin bisa seperti dia, berusaha seperti dia berarti menjadi orang lain dan meninggalkan diriku, menanggalkan semua sikap yang menjadi karakterku, sifat – sifat unik yang menjadi cirri khas ku, lalu saat aku benar-benar seperti dia, apa meraka akan mengenaliku sebagai dia atau diriku? Seorang teman pernah berkata “Dont be so fool...you must become better than her, so stupid if you want like her... are you know that she wants to be like you??” saat pertama kali aku membasa kalimat itu aku ingin tertawa, benarkah? Helhooo, apa sih yang bisa dibanggakan dari seorang “aku”? teman, tahukah dirimu, terkadang kata-katamu itu terdengar konyol, tapi anehnya kata-kata itu berhasil membuatku tersenyum dan berusaha menghargai apa yang aku punya.
Saat aku bertanya-tanya apa yang aku punya sedangkan dia tak punya, baru sekarang aku mendapatkan jawabannya. Kalau dilihat dari sudut lain, hidupnya mungkin terlihat bahagia, dia punya banyak teman, tapi punyakah dia seorang sahabat yang selalu siap direcoki curhatan konyol? Aku punya pacar yang selalu mendukungku, memotivasi (walau lebih banyak gagal >.
Tapi sekarang, aku dikelilingi orang-orang yang aku percaya mereka menerimaku di tengah-tengah mereka, menerimaku menjadi bagian dari mereka. Aku bisa dengan tegas mengatakan “suka” bila aku menyukainyanya dan berkata “tidak” bila aku tidak menyukainya. Aku tidak pernah gengsi meminta bantuan manakala ada hal yang tidak bisa ku kerjakan sendiri, bukan berarti tidak mandiri (walau kepepet aku bisa lebih mandiri dari yang mereka pernah tahu).
“Dia” yang sekarang, aku benar-benar tak mau hidup seperti itu, kadang terlihat terlalu bergantung sampai susah melepaskan diri, tapi tetap ingin terlihat mandiri. Aku tidak mau hidup dibawah tertekan seperti itu, seakan – akan kebebasanku dirampas, seakan-akan aku tidak punya hak, seakan-akan aku tidak mampu. Tidak!!! Aku tidak mau seperti itu. Aku yang sekarang merasa labih hidup, lebih bahagia, dan lebih beruntung dari dia. Jangan salah mengartikan tulisanku ini, ini tidak berarti aku membencinya, tidak berarti aku menyumpahinya, tidak, bukan seperti itu. Aku tetap meghargainya, tetap menghormatinya, hanya saja aq merasa bahagia bias sedikit terlepas dari obsesi gila yang menghantuiku selama 8tahun ini.
Komentar
Posting Komentar